KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Siap untuk Berani Bersikap

    Siap untuk Berani Bersikap

    BY 22 Agu 2024 Dilihat: 56 kali
    Siap untuk Berani Bersikap_alineaku

    Setiawati duduk di ruang kerjanya yang sunyi, tenggelam dalam tumpukan kertas ujian yang perlu diperiksa. Suara lembaran-lembaran yang bergesekan saat ia membalik halaman memecah kesunyian, namun tidak mampu mengalihkan pikirannya dari rasa gelisah yang menyelimutinya. Sekolah yang terlihat damai dari balik jendela adalah kontras dari pertarungan batin yang berkecamuk di dalam dirinya. Setiap hari, beban integritas semakin menghimpit. 

    Surat edaran dari atasan mengekang langkahnya, membatasi ruang untuk berpikir kritis dan bertindak sesuai nurani. Setiawati menghela napas dalam, matanya menatap tumpukan buku pelajaran di mejanya—bukti dari jam-jam panjang yang dia habiskan untuk menyiapkan materi agar lebih menarik bagi murid-muridnya. Setiap hari, ia datang lebih awal, memastikan bahwa kelasnya selalu siap menyambut anak-anak dengan lingkungan yang penuh inspirasi. Meskipun kenyataan sering kali tidak sejalan dengan keyakinannya tentang pendidikan sebagai kunci masa depan, Setiawati tidak menyerah. Ia terus mencari cara untuk memberikan yang terbaik bagi siswa-siswanya, meski di tengah berbagai keterbatasan. 

    Ketika bel sekolah berbunyi, Setiawati memulai kelasnya dengan penuh semangat. Dia melihat di wajah-wajah siswanya berbagai harapan dan impian masa depan. Namun, kebijakan yang diterapkan oleh pihak berwenang dan sekolah yang menjadi tumpuan harapannya justru sering memupus cita-citanya. 

    Setelah kegiatan pembiasaan membaca bersama selama 15 menit, kelas berlanjut dengan pelajaran   Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Ia menjelaskan sikap patuh, taat, dan disiplin sebagai bentuk pengamalan Pancasila. “Bu Setiawati, apa kita boleh mempertanyakan perintah yang diberikan?” seorang siswa dengan berani bertanya, “Kenapa orang tua dan guru selalu minta kita ikut perintahnya? Tidak boleh tidak meskipun kita tidak suka.”

    Setiawati tersenyum pahit, memahami keragu-raguan siswanya. Dia berjalan ke depan kelas dengan langkah yang mantap, “Kadang-kadang, kita harus memilih jalan yang sulit,” jawabnya dengan suara lembut namun tegas. “Tapi kita selalu bisa menjaga kebaikan dan melakukan hal yang benar.”

    Setelah kelas selesai, Setiawati kembali ke ruang kerjanya dengan keprihatinan yang mendalam. Dia merenungkan masa lalunya, bagaimana semangat dan idealismenya dulu begitu membara saat pertama kali memulai karir sebagai seorang guru. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan dan kenyataan pahit telah mengasahnya menjadi lebih bijak dan realistis.

    Malam harinya, saat ruang kerja sudah lengang, telepon dari rekan kerja memecah kesunyian. “Bu Setia, kita ada rapat penting besok siang, langsung dari pimpinan,” suara di ujung telepon terdengar gelisah. Setiawati menutup telepon dengan perasaan berat, menatap layar yang kini gelap. “Siap,” jawabnya tadi dengan suara rendah, penuh kebimbangan. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dalam benaknya, terbayang dunia pendidikan yang ideal, penuh kejujuran dan nilai-nilai yang lurus, jauh dari bayang-bayang kepentingan pribadi dan manipulasi. “Apa yang harus aku lakukan?” gumam Setiawati pada dirinya sendiri.

    Di luar jendela kantornya, suara riuh anak-anak bermain terdengar samar. Mereka adalah alasan dia memilih menjadi pendidik. Tapi kini, ia harus menghadapi kenyataan pahit: kebijakan sekolah yang mengakomodasi siswa titipan melalui jalur “siluman”.

    Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. Seorang rekan kerjanya, Pak Budi, masuk dengan wajah serius.

    “Ibu Setia, baik-baik saja?” tanya Pak Budi dengan nada khawatir.

    Setiawati menghela napas, lalu mengangguk. “Saya baru saja menerima telepon dari kepala sekolah. Mereka meminta saya untuk memprioritaskan beberapa siswa dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini,” ucapnya dengan nada yang berat, memahami bahwa PPDB, proses seleksi yang seharusnya adil untuk semua calon siswa, kini terancam oleh intervensi yang tidak semestinya. Pak Budi mengerutkan kening. “Siswa titipan lagi?”

    “Ya,” jawab Setiawati lemah. “Saya benar-benar bingung, Pak Budi. Ini bukan pertama kalinya. Tapi kali ini, jumlahnya lebih banyak.”

    Pak Budi duduk di kursi depan meja Setiawati. “Saya mengerti perasaan Ibu Setia. Kita semua ingin sistem yang adil. Tapi terkadang, kita harus berhadapan dengan kenyataan yang sulit.”

    Setiawati menatap Pak Budi, matanya penuh kebimbangan. “Apakah ini benar, Pak Budi? Bagaimana kita bisa mengajarkan integritas kepada siswa jika kita sendiri tidak bisa menjaga integritas dalam sistem ini?”

    Pak Budi terdiam sejenak, lalu berbicara dengan suara pelan. “Ini memang dilema besar, Setiawati. Tapi mungkin, kita bisa mencoba sesuatu yang berbeda. Kita bisa mengajukan protes, meminta penjelasan lebih lanjut, atau bahkan mencari cara untuk melibatkan orang tua dan masyarakat dalam mendukung sistem yang lebih transparan.”

    Setiawati meresapi kata-kata Pak Budi. “Mungkin Bapak benar. Kita harus berbuat sesuatu, bukan hanya diam menerima.”

    Pak Budi mengangguk. “Kita bisa mulai dari hal kecil, Setiawati. Kita harus tetap percaya bahwa perubahan bisa terjadi, asal kita mau berusaha.”

    Setiawati tersenyum tipis, merasa sedikit lega. “Terima kasih, Pak Budi. Saya akan memikirkan cara terbaik untuk menghadapinya.”

    Pak Budi berdiri, menepuk bahu Setiawati. “Kita semua mendukung Ibu. Ingat, Ibu tidak sendirian.”

    Setiawati mengangguk, merasa semangatnya kembali. “Baik, mari kita lakukan sesuatu untuk perubahan ini.” Setia melangkah dengan mantap menuju kelasnya ketika bel berbunyi.

    Setiawati memulai hari dengan mengajak murid-muridnya membaca bersama. Namun, kali ini, ia tidak hanya memberi instruksi, tetapi juga menjelaskan mengapa kegiatan ini penting untuk perkembangan mereka. “Anak-anak, hari ini kita akan mulai dengan membaca bersama,” kata Setiawati sambil tersenyum hangat.

    Seorang murid, Rafin, mengangkat tangan. “Bu, kenapa kita harus membaca bersama? Bukannya kita bisa membaca sendiri di rumah?”

    Setiawati tersenyum lebih lebar, senang melihat rasa ingin tahu Rafin. “Pertanyaan yang bagus, Rafin. Membaca bersama bukan hanya soal membaca itu sendiri. Ini juga tentang kebiasaan dan keterbukaan.”

    Murid-murid tampak bingung. Setiawati melanjutkan, “Ketika kita membaca bersama, kita belajar lebih dari sekadar kata-kata di halaman. Kita belajar mendengarkan satu sama lain, berbagi pendapat, dan saling menghargai perspektif yang berbeda.”

    Raya, murid yang duduk di barisan depan, ikut bertanya. “Tapi, kenapa itu penting, Bu?”

    “Karena,” jawab Setiawati dengan lembut, “dengan berbagi dan mendengarkan, kita menciptakan lingkungan  tempat setiap orang merasa didengar dan dihargai. Ini membantu kita memahami bahwa pendapat kita penting, tapi pendapat orang lain juga penting.”

    Andi, yang biasanya pendiam, tampak tertarik. “Jadi, kita belajar kerja sama dari membaca bersama?”

    “Betul sekali, Andi,” kata Setiawati. “Kerja sama dan saling menghargai adalah kunci. Ketika kita mendengarkan dan menghargai satu sama lain, kita menciptakan suasana yang lebih terbuka dan nyaman.”

    Para murid saling pandang, sepertinya mulai mengerti. Setiawati melanjutkan, “Jadi, ketika kita membaca bersama, ingatlah bahwa kita tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari satu sama lain. Ini akan membuat kita lebih baik dalam berkomunikasi, lebih terbuka, dan lebih menghargai perbedaan.”

    Cita, yang duduk di dekat jendela, angkat tangan dengan antusias. “Bu, saya mau mulai baca duluan! Saya ingin berbagi cerita ini dengan teman-teman.”

    Setiawati tersenyum bangga. “Bagus sekali, Cita. Ayo, kita mulai. Ingat, setiap cerita yang kita baca bersama adalah langkah kecil menuju dunia yang lebih terbuka dan saling menghargai.”

    Murid-murid mulai membuka buku mereka dengan semangat baru, tangan-tangan kecil mereka dengan lembut membalik halaman. Mata mereka berbinar, menyerap setiap kata dengan antusiasme yang segar. Setiawati merasa hangat di dalam hatinya, melihat senyum-senyum terselubung di wajah mereka. Ia tahu, dengan sedikit keterbukaan dan penjelasan, ia telah membantu mereka menemukan cara baru untuk merasakan kegembiraan dalam membaca dan membangun kebiasaan positif, tidak hanya dalam menelusuri kata-kata, tetapi juga dalam saling menghargai satu sama lain.

    Setelah kelas usai, Setiawati duduk di sudut ruang rapat, jantungnya berdegup tak beraturan. Ruangan itu terasa semakin sempit, udara seolah-olah menekan, memperparah kecemasannya. Instruksi-instruksi yang disampaikan begitu dingin dan tegas, seperti pisau tajam yang mengiris semangatnya perlahan. Ketika akhirnya gilirannya tiba untuk berbicara, Setiawati merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya, seakan seluruh tubuhnya dipaksa untuk mengambil langkah yang berat dan menyesakkan.”Pendapat Ibu Setiawati tentang kebijakan baru ini, bagaimana?” tanya pimpinan dengan nada tajam, menatapnya dengan penuh tekanan.

    Setiawati menatap tajam mata pimpinannya, mencari keberanian dalam dirinya sendiri. Dia mengambil napas dalam-dalam, merasa gemetar tapi tahu ini saatnya untuk berbicara.

    “Saya merasa kebijakan ini perlu dikaji ulang,” ucapnya dengan suara gemetar namun mantap. “Kita harus mengedepankan akal sehat dan moral dalam setiap keputusan. Mengakomodasi siswa melalui jalur istimewa dengan imbalan besar mungkin menguntungkan secara finansial, tapi itu mengkhianati prinsip keadilan dan integritas yang seharusnya kita junjung tinggi.”

    Ruangan itu menjadi hening. Semua mata tertuju pada Setiawati, beberapa di antaranya tampak terkejut, yang lain penuh kekhawatiran.

    Pimpinan, Pak Sopan, menatap Setiawati dengan intensitas yang membuat suasana semakin tegang. “Ibu tahu, keputusan ini dibuat demi kelangsungan sekolah kita. Dana dari jalur khusus ini bisa membantu banyak hal.”

    “Tapi, Pak,” kata Setiawati dengan lebih tegas, “apa gunanya kelangsungan sekolah jika kita mengorbankan nilai-nilai kita? Bagaimana kita bisa mengajarkan kejujuran dan integritas kepada siswa jika kita sendiri tidak bisa menerapkannya dalam keputusan kita?”

    Pak Sopan menyipitkan mata, terlihat marah namun berusaha menahan diri. “Ini bukan soal nilai-nilai, ini soal realitas dan kebutuhan sekolah.”

    Setiawati tidak mundur. “Realitasnya adalah, kita sedang mengkhianati siswa-siswa yang masuk dengan jujur. Jika kita tidak berdiri tegak untuk mereka yang memang berhak, apa artinya kita sebagai pendidik?”

    Ruangan itu tetap sunyi. Beberapa guru tampak mulai mengangguk setuju, namun masih banyak yang diam dalam ketegangan.

    Pak Sopan akhirnya berbicara lagi, suaranya lebih dingin. “Akan kami pertimbangkan,” katanya dengan nada yang jelas tidak puas. “Namun, harap diingat Bu Setiawati, bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan kami.” 

    Setiawati menatap pimpinan dengan ketegasan yang baru ditemukan. “Saya mengerti, Pak. Tapi saya berharap kita bisa mempertimbangkan apa yang benar, bukan hanya apa yang menguntungkan.”

    Saat rapat berakhir, Setiawati menghela napas panjang, merasakan beban berat yang sedikit terangkat dari dadanya. Meskipun ia tahu perjuangannya masih panjang, ada secercah ketenangan yang mengalir dalam dirinya. Saat dia melangkah keluar ruangan, aroma kopi yang sudah dingin dan kesunyian koridor yang mulai lengang menyambutnya. Setiawati mengangkat kepalanya, merasakan dinginnya lantai di bawah kaki, dan menguatkan tekadnya. Dengan hati yang berdegup pelan namun pasti, ia siap menghadapi apa pun yang datang demi memperjuangkan nilai-nilai yang dipegang teguh, tak peduli seberapa besar risikonya. Setiawati merasa lega meskipun belum ada perubahan konkret. Langkahnya mungkin kecil, namun dia yakin bahwa itu adalah langkah penting menuju perubahan yang lebih besar. Dia berharap suatu hari nanti, integritas dan moral akan kembali menjadi pilar utama dalam dunia pendidikan.

    Hingga saat itu tiba, Setiawati akan terus berjuang, dengan atau tanpa kata “Siap!”. Baginya, adab sejati bukan hanya soal patuh dan selalu mengatakan “Siap” pada setiap perintah. Yang lebih penting adalah berani bersikap berbeda demi menjaga integritas dan menghargai orang lain. Pendidikan karakter, menurutnya, justru dimulai dari keberanian untuk bersikap jujur dan adil, bahkan jika itu berarti harus menantang “sistem” yang ada. Setiawati yakin bahwa dengan menanamkan prinsip ini, dia tidak hanya membantu membentuk individu yang baik, tetapi juga turut membangun pondasi yang kuat untuk masa depan.

     

     

    Kreator : Latifah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Siap untuk Berani Bersikap

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021