KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Silent Reader

    Silent Reader

    BY 03 Nov 2024 Dilihat: 93 kali
    Silent Reader_alineaku

    Grup WhatsApp yang sejatinya didesain sebagai wadah resmi nan bersahaja untuk komunikasi antara wali kelas dan orang tua. Sayangnya, telah berubah menjadi arena yang sarat dengan polusi obrolan pribadi tak terarah. 

    Alih-alih fokus pada pengumuman sekolah atau hal penting terkait pendidikan, grup ini malah kian menjijikkan karena dijejali curhatan tak relevan, ajang pamer yang memalukan, hingga parade mencari perhatian yang nyaris tanpa kendali. 

    Setiap notifikasi hanya memperdengarkan deretan kalimat yang menyeret ruang obrolan ini ke dalam lingkaran klise kampungan yang tak berbudaya. 

    Terkesan kurang berpendidikan, para orang tua yang seharusnya menjadi teladan ini malah mengaburkan fungsi utama grup dengan ulah yang memuakkan, mengubahnya menjadi panggung serba guna bagi ego dan narsisme mereka sendiri.

    Sebagian besar orang tua di grup itu terjebak dalam dilema tak terucap. Grup yang seharusnya menjadi kanal informasi sekolah telah bergeser menjadi panggung ajang narsisme dan pembicaraan tak relevan yang tak kenal jeda, penuh topik personal yang melelahkan. 

    Namun, betapapun rasa tidak nyaman meresap, mereka tak berani meninggalkan grup. Meninggalkan grup berarti menutup akses pada informasi penting, pengumuman mendesak, dan pemberitahuan akademis yang hanya bisa diakses di sana. 

    Mengabaikan obrolan di grup terasa hampir mustahil, notifikasi berbunyi dengan serangan note-note personal yang menyita perhatian. Mereka akhirnya memilih bertahan dalam “kebisingan digital” itu, seolah menghadapi parade monolog yang mustahil dihentikan. 

    Peran sebagai silent reader akhirnya terpaksa mereka lakoni, menekan dorongan walk-out demi tetap terhubung dengan hal-hal substansial yang tersembunyi di balik lautan percakapan superfisial yang entah kapan akan berhenti.

    Grup yang seharusnya hanya untuk informasi sekolah, justru…

    Dikisahkan, dalam suatu grup WhatsApp Orang Tua Siswa Kelas 7E, hiduplah dua orang tua, Rono-Rene dan sahabatnya bernama Langlang-Lingling, mendominasi percakapan tidak penting.

     

    Langlang-Lingling:
    “Selamat pagi, Bapak-Ibu! Hari ini Langlang-ku bangun jam setengah enam loh, sempat stretching dulu! Biar sehat gituuu. Nah, kalau soal sarapan, saya bikin pancake topping madu organik! Ada yang mau resepnya?”

    Rono-Rene:
    “Wah, Lang keren banget! Edo juga tadi pagi minta sarapan croissant, sampe ibunya harus belajar tutorial dari YouTube! Demi si kecil, harus dong! 🤭 Kira-kira nanti mau aku share resepnya, gimana, nih?”

     

    Tak ada balasan dari orang tua lain. 

     

    Langlang-Lingling:
    “Btw, hari ini Langlang mulai kursus kaligrafi, lho! Menurut saya penting banget, ya, belajar seni dari dini. Minggu depan mungkin aku bakal upload hasil karya pertamanya di sini biar teman-teman bisa lihat hasilnya. Ada yang mau ikutan kursus? Nanti bisa bareng Langlang!”

     

    Rono-Rene:
    “Kaligrafi?! Luar biasa, Mbak Lang! Aku jadi inget, Edo baru mau mulai kelas tambahan renang. Semangat banget katanya. Kan, biar skillnya makin komplit. Ada yang mau anaknya ikutan juga? Rame-rame pasti seru, ya!”

     

    Seolah tak peka bahwa grup mulai sepi dan lebih banyak orang tua yang sekadar membaca tanpa pernah membalas, mereka terus lanjut.

     

    Langlang-Lingling:
    “Oh, dan ya, saya mau curhat dikit nih ya… tadi pagi sempet cek hape Langlang. Banyak yang bilang anak-anak itu harus dibiarkan bebas pake hape, tapi saya selalu cek! Kita, kan, orang tua modern, mesti hati-hati ya sama konten!”

     

    Rono-Rene:
    “Setuju banget! Saya juga tiap minggu cek handphone Edo, lihat apa aja yang dia browsing. Lagi-lagi soal kemajuan anak, kan? Padahal teman-teman di grup ini mungkin juga paham soal parenting digital ya, Mbak Lang? Tapi gak papa deh, kita share ilmu!”

     

    Orang tua lainnya saling mengirim pesan pribadi di luar grup, lelah dengan monolog Rono dan Langlang yang tak berkesudahan.

     

    Langlang-Lingling:
    “Eh, ini kayaknya grupnya sepi ya, Mas Rono? Pada malu-malu kali ya, nunggu info dulu soal anak-anak kita? Kan kita di sini buat saling support dan kasih inspirasi!”

     

    Rono-Rene:
    “Benar banget, Mbak Lang! Biar deh mereka yang cuma baca-baca aja! Kita tetap semangat kasih update, ya. Kan ini demi edukasi bareng-bareng. Eh, aku jadi ingat, Edo tadi bilang mau coba belajar nari. Mungkin aku bakal undang guru tari privat ke rumah minggu depan. Siapa tahu ada yang mau anaknya ikutan?”

     

    Tak satupun yang membalas di grup, dan di sana, di bawah taburan cerita soal Langlang yang bangun pagi atau Edo yang udah les renang tapi masih pengen punya guru tari, grup yang seharusnya menjadi forum resmi kini telah menjadi ruang monolog narsis yang dikuasai oleh dua orang tua paling over-sharing sedunia.

     

    Langlang-Lingling:
    “Yuk, kita lanjut aja ya, Mas Rono! Karena… sharing itu caring! Hihihi! Soalnya… kalau kita nggak update, nanti siapa yang kasih inspirasi ke grup ini? Mana tahu ada yang kepo sama keseharian Langlang yang produktif ini! Hihihi. Kalau nggak ada aku, sepi deh grupnya. Mungkin yang lain malu-malu buat cerita, ya? Tapi tenang aja, aku nggak akan berhenti update! Itu, kan, bukti peduli kita, betul nggak, Mas?”

     

    Rono-Rene:
    “Betul banget, Mbak Lang! Saya juga ngerasa kita ini ibarat penyemangat di grup, ya. Kalau nggak ada yang kayak kita, apa jadinya ruang obrolan ini? Sepii… padahal, kan, grup ini bisa jadi tempat kita bonding, saling support! Lagi pula, nggak semua orang bisa bagi cerita, apalagi soal parenting kayak kita. Jadi ya wajar dong, kalau kita isi grup ini. Siapa tahu yang lain nanti terinspirasi dan mulai ikutan update kegiatan anak-anak mereka juga, biar nggak cuma jadi grup buat pengumuman aja. Yuk, kita lanjutin! Kalau bukan kita yang memeriahkan, siapa lagi?”

     

    Orang Tua A:

    (Menghela napas, lalu mengetik di chat pribadi ke Orang tua B) “Lihat nih, mereka lagi. Apa nggak sadar ya kalau orang lain di sini cuma pengen dapat info penting? Ini grup apa panggung sih? Mereka, kok, malah sibuk sendiri.”

     

    Orang Tua B: 

    (Membalas singkat, sambil menahan tawa) “Pengen sih keluar grup, tapi takut ketinggalan info penting dari wali kelas. Mereka kayaknya nggak ada filter, ya? Apa kita mesti bawa kopi setiap kali buka grup ini ya biar kita bisa kuat bertahan?”

     

    Orang Tua C:

    (Mengetik di chat pribadi ke orang tua D) “Saya beneran kasihan sama wali kelas. Beliau pasti pusing lihat notifikasi penuh kayak gini. Pengen balas, tapi takut jadi tambah panjang urusannya!”

     

    Sementara itu sang Wali Kelas mengetik dengan hati-hati, mencoba meredam kekhawatiran orang tua tanpa langsung menegur.

     

    Wali Kelas:

    ”Bapak dan Ibu, terima kasih atas antusiasmenya di grup ini. Mengingat grup ini utamanya digunakan untuk menyampaikan informasi resmi terkait kegiatan sekolah, kami mohon agar komunikasi di sini tetap fokus pada hal-hal penting terkait pembelajaran dan aktivitas sekolah, ya. Bila ada hal-hal pribadi, bisa dibicarakan lewat chat pribadi atau pada forum yang lebih santai. Semoga Bapak dan Ibu bisa memaklumi, agar kita semua nyaman berkomunikasi di grup ini. Terima kasih atas kerjasamanya.”

     

    Orang Tua D:

    (Melirik pesan Wali Kelas sambil berbisik di chat pribadi ke orang tua C) “Pukulan telak dari wali kelas. Kira-kira Rono sama Langlang bakal paham nggak, ya?”

     

    Keesokan harinya, grup kembali tenang sejenak. Tak ada tanda-tanda monolog dari Rono-Rene dan Langlang-Lingling—sebuah ketenangan yang hampir terasa surreal. Orang tua lain sempat menikmati notifikasi sepi itu, seolah grup itu kembali menjadi ruang informasi formal yang sesungguhnya. Namun, harapan itu ternyata tak bertahan lama.

     

    Langlang-Lingling:
    “Selamat pagi, Bapak-Ibu! Setelah saya renungkan semalam, saya merasa panggilan kita di grup ini itu memang besar. Apalagi, banyak yang pasti pengen tahu gimana kita menjaga anak-anak kita tetap produktif. Eh, ngomong-ngomong, Langlang-ku sekarang sudah mulai rutin meditasi setiap pagi, loh! Ada yang tertarik? Bisa kita buat sesi bareng-bareng untuk anak-anak!”

     

    Rono-Rene:
    “Wah, saya setuju banget, Mbak Lang! Jangan berhenti berbagi ya, karena saya juga punya tips parenting yang mungkin bisa kita kolaborasikan di sini, biar makin bermanfaat buat semuanya! Sharing is caring, ya!”

    Dan, gara-gara kalimat seperti itu, obrolan mereka kembali mencairkan grup, menyeret semua orang tua kembali ke dalam lingkaran notifikasi yang tak ada habisnya. Sementara di luar grup, para orang tua hanya bisa saling pandang, berbisik lirih, dan kembali bertanya-tanya—apakah ketenangan di grup ini hanyalah sebuah mimpi?

    Rono dan Langlang adalah duet legendaris di grup, para pakar segala hal yang tak pernah diundang untuk berbagi. Ketika notifikasi grup tiba-tiba muncul dengan pesan dari mereka, orang tua lain seketika tahu—ini pasti bukan pengumuman sekolah, melainkan petuah baru dari guru besar Rono dan Langlang, sahabat karibnya sejak kedua anak mereka satu sekolah di tingkat sekolah dasar beberapa bulan yang lalu. 

    Kali ini, topik mereka sungguh mendalam: cara memasang dasi seragam almamater anak. Ya, dasi. Bukannya topik mengenai perkembangan sekolah, tapi, seberapa pentingnya bentuk dasi yang simetris bagi nasib akademik Langlang dan Edo. Seolah-olah, jika dasi miring sedikit saja, masa depan kedua anak mereka akan runtuh. Dengan penuh kesungguhan, mereka bergantian menjelaskan cara menarik ujung dasi hingga rapi, lengkap dengan tips “supaya terlihat elegan,” seakan-akan anak-anak mereka akan menghadiri rapat direksi, bukan belajar matematika, sains dan bahasa Inggris kelas tujuh.

     

    Langlang-Lingling:
    Selamat pagi, Bapak-Ibu! Hari ini Langlang-ku ke sekolah pake dasi, lho! Ini pertama kalinya dia mau pake dasi gara-gara aku buatin tutorial simpul dasi semalam! 🥰 Nanti sore pulang sekolah siapa aja ya yang mau ikut belajar simpul dasi? Biar modis dong! Jadi gini ya, Bapak-Ibu, semalam saya nemu tutorial simpul dasi yang flawless. Katanya, kalau simpulnya nggak rapi, bisa ngaruh ke kepercayaan diri anak, lho! Apalagi kalau acara penting kayak… ya, upacara bendera 🤭. 

     

    Rono-Rene:
    “Bener banget, Mbak Lang! Saya sampai riset di YouTube—serius, saya nonton video tutorial simpul dasi selama satu jam! Biar Edo kelihatan classy pas masuk kelas. Kan anak-anak kita ini calon pemimpin masa depan, masak simpul dasi aja nggak proper?”

     

    Langlang-Lingling:
    “Yup, Mas Rono! Kalau dasi kita nggak seimbang, energi anak juga bakal ikutan nggak seimbang, lho. Makanya saya sempat coba simpul Windsor tadi pagi buat Langlang, biar vibes-nya beda!”

     

    Rono-Rene :

    (penuh antusias, sangat bersemangat) “Iya, saya juga pilih simpul yang slim fit, biar Edo terlihat lebih berkarakter! Bayangin aja, Bapak-Ibu, dasi yang rapi itu kan seperti statement piece. Anak kita mesti kelihatan stand out bahkan di barisan kelas!”

     

    Langlang-Lingling:
    “Setuju banget, Mas Rono! Dasi Langlang juga harus simetris dan profesional! Soalnya, yaaa… orang sukses itu kan kelihatan dari detail kecil kayak gini. Saya sampai latihan pakai tutorial video biar ngerti betul. Kalau perlu, kita bisa adakan workshop kecil tentang simpul dasi biar semua anak kita terlihat on point!”

     

    Orang tua A:

    (Berbisik pada orang tua B di chat pribadi) “Workshop simpul dasi? Kayak kita mau kirim anak-anak ke sidang direksi aja! Mereka ini lupa ya, besok anak-anak cuma ada ujian Matematika, IPA, IPS dan Bahasa Inggris, bukan ujian fashion?”

     

    Rono-Rene:
    “Ah, saya pikir, kalau anak-anak pakai dasi yang rapi, gurunya pasti bangga, kan? Edo juga jadi lebih pede kalau simpulnya kuat. Ini investasi mental juga buat mereka, Bapak-Ibu, bukan sekadar fashion statement!”

     

    Langlang-Lingling:
    “Betul, betul! Ini bukan soal dasi aja, tapi soal masa depan. Anak-anak harus tampil maksimal dari sekarang, biar terbiasa! Kalau ada yang mau ikut tutorialnya, saya dan Mas Rono bisa kirim video malam ini. Sharing is caring, ya!”

     

    Orang tua lainnya hanya bisa memandang layar dengan ekspresi lelah, menyadari bahwa, dalam semesta Rono-Rene dan Langlang-Lingling, tidak ada topik yang terlalu sepele untuk dijadikan drama kelas berat. Sementara itu, harapan untuk diskusi tentang ujian matematika segera sirna di bawah tumpukan simpul dasi yang tampak lebih krusial dari segalanya.

    Tiba-tiba, saat ketegangan di grup mencapai puncaknya dengan bahasan simpul dasi yang kian membosankan, Rono-Rene menyisipkan komentar yang tak terduga.

     

    Ngomong-ngomong, setelah kita urus semua ini, siapa yang mau bergabung buat masak ayam woku bareng? Kebetulan, saya punya resep baru yang bisa bikin semua anak kita kelihatan on fire, seperti jus mangga segar yang kita minum sambil menyaksikan mereka beraksi!” 

    Dengan cepat, topik sepele yang sedang ramai dibahas bergeser, menciptakan peluang baru untuk kehebohan yang tak terduga.

     

    Rono-Rene:
    “Oh iya, ngomong-ngomong soal dasi anak, jadi inget nih… Kemarin saya masak ayam woku! Kalau pada tertarik, saya bisa share resepnya di grup. Ayamnya empuk banget, cocok buat bekal anak-anak, biar nggak kalah bersinar sama dasi mereka. Plus, ada tips rahasia biar bumbunya nendang!”

     

    Langlang-Lingling:
    “Wah, iya, Mas Rono! Saya juga baru coba bikin jus mangga kemarin! Enak banget, cocok buat teman ayam woku, biar anak-anak tetap sehat dan fokus belajar. Bayangin aja, Bapak-Ibu, kalau anak-anak kita bawa bekal ayam woku dan jus mangga ke sekolah, pasti mereka jadi pusat perhatian, kan? Sederhana tapi classy!”

     

    Orang tua lainnya hanya bisa menatap layar dengan heran, mencoba memahami relevansi ayam woku dan jus mangga dengan diskusi seragam sekolah yang tadinya diharapkan bisa selesai tanpa tambahan cerita kuliner.

     

    Rono-Rene:
    Wah, keren banget Langlang! Btw, Edo tadi pagi juga bawa bekal spesial nih! Dia sih request ayam woku sama jus mangga dari rumah. Saya aja belum sarapan tapi yang penting anak semangat sekolah, ya kan? Ada yang mau resep ayam woku? Dijamin anak-anak tambah semangat!

    Di saat yang sama, orang tua lainnya saling mengirim pesan pribadi.

     

    Orang tua A:

    Aduh, lagi-lagi cerita dasi dan bekal spesial. Ini grup info sekolah atau ajang promosi talenta anak-anak mereka, ya?

     

    Orang tua B:

    Kalau kasih info sekolah penting mah ga papa, ini malah soal dasi dan jus mangga. Tadi juga ada yang nanya tentang PR tapi tenggelam sama obrolan mereka…”

    Dua jam kemudian, tak ada satupun orang tua yang berkomentar lebih lanjut di grup. Kecuali, tentunya, kedua tokoh kita.

     

    Langlang-Lingling:
    Btw, mau kasih heads-up ya. Langlang ini baru gabung kursus biola, jadi kalau lusa ada ekskul dan dia tampil, jangan heran kalau banyak yang terkesima.

    Rono-Rene:
    Anak-anak kita emang istimewa, ya. Sangat menginspirasi.

     

    Tak seorang pun memberi balasan di grup.

    Pesan Moral:

    Demikianlah, Rono-Rene dan Langlang-Lingling terus menjalani hidup di dunia kecil mereka sendiri, tak pernah sadar bahwa oversharing bukan berarti bonding, apalagi saat audiens tak pernah meminta. 

    Khusus bagi para Gen Z, ingatlah. Semakin mudah kita berbagi, semakin penting kita memilah. Setiap platform punya karakter, setiap ruang punya etika—dalam era digital ini, sikap paling bijak adalah memahami kapan harus diam dan kapan berbicara. 

    Tunjukkan kepekaan, bukan sekadar eksistensi sebab menjadi pribadi yang dihargai, bukan hanya soal didengar, tetapi juga soal tahu kapan harus mendengar.

     

     

    Kreator : Adwanthi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Silent Reader

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021