KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Teguran Sang Guru

    Teguran Sang Guru

    BY 22 Agu 2024 Dilihat: 36 kali
    Teguran Sang Guru_alineaku

    Di sebuah desa terpencil yang diselimuti kabut di pagi hari, hidup seorang guru tua yang dikenal dengan caranya yang tak lazim dalam mendidik murid-muridnya. Guru ini, seorang pria berperawakan kurus dengan rambut yang memutih oleh usia, tampak selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya sering kali terasa seperti teka-teki yang menyisakan rasa penasaran dalam hati siapa pun yang mendengarnya.

    Salah satu muridnya adalah Raka, seorang pemuda yang selalu merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Ia rajin belajar, tak pernah absen dalam setiap pelajaran, namun ia merasa ada jarak yang tak terdefinisikan antara dirinya dan gurunya. Raka sering merasa dihukum terlalu keras oleh sang guru, padahal ia yakin bahwa kesalahan-kesalahan kecilnya tidak seharusnya mengundang kemarahan sebesar itu.

    Pagi itu, Raka berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku menuju rumah gurunya. Langkahnya berat, seolah-olah setiap bebatuan yang diinjaknya mengingatkan kembali akan setiap teguran yang pernah diterimanya. Di kepalanya, berkecamuk berbagai pertanyaan yang belum terjawab, seolah-olah jiwanya terjebak dalam labirin tanpa pintu keluar.

    Setibanya di rumah gurunya, Raka mendapati sang guru sedang duduk di teras rumahnya yang sederhana, ditemani secangkir teh yang mengepulkan uap tipis di udara pagi yang dingin. Sang guru menatapnya sekilas, lalu kembali memandang pegunungan di kejauhan, seolah gunung-gunung itu berbicara padanya dengan bahasa yang hanya dia yang bisa mengerti.

    “Guru,” kata Raka, dengan nada suara yang sedikit gemetar, “mengapa engkau begitu keras padaku? Mengapa kesalahan kecil yang aku buat harus dibalas dengan teguran yang begitu keras? Aku merasa dihukum terlalu berat untuk sesuatu yang sebenarnya tidak seberapa.”

    Sang guru tidak segera menjawab. Ia mengangkat cangkirnya, menyeruput teh dengan perlahan, dan membiarkan kesunyian mengisi ruang di antara mereka. Raka, yang tidak biasa dengan keheningan yang begitu kental, merasa semakin gelisah. Namun, ia menahan diri untuk tidak bicara lagi, menunggu dengan sabar hingga sang guru memutuskan untuk membuka mulut.

    Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad bagi Raka, sang guru akhirnya berbicara. “Pernahkah kamu mendaki gunung, Raka?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh dengan resonansi yang dalam.

    Raka mengangguk, sedikit bingung dengan arah pembicaraan ini. “Pernah, Guru. Beberapa kali.”

    Sang guru tersenyum samar, seperti mengenang sesuatu yang hanya ia yang tahu. “Bayangkan kamu sedang mendaki gunung yang sangat tinggi,” katanya pelan. “Di sampingmu ada dua hewan—seekor kuda dan seekor kambing. Ketika perjalanan mulai terasa berat dan melelahkan, dan kamu harus memilih salah satu untuk dipacu agar bisa melanjutkan perjalanan, siapa yang akan kamu pukul?”

    Raka berpikir sejenak, meskipun ia merasa pertanyaan ini aneh, namun ada sesuatu di dalamnya yang menarik perhatiannya. “Saya akan memukul kuda, Guru,” jawabnya akhirnya.

    Sang guru mengangguk pelan, seolah-olah jawaban itu sudah ia duga sebelumnya. “Mengapa bukan kambing?” tanyanya lagi, suaranya tenang seperti permukaan danau yang tak terusik angin.

    Raka mencoba menganalisis pertanyaan itu dengan logika yang biasa ia gunakan. “Karena kuda memiliki kekuatan yang lebih besar, dan dia bisa berlari lebih cepat. Kuda bisa menempuh perjalanan yang berat dan mendaki gunung dengan lebih baik dibandingkan kambing. Kambing tidak memiliki kecepatan dan kekuatan seperti kuda,” jawabnya, merasa yakin dengan analisisnya.

    Mendengar jawaban itu, sang guru menatap Raka dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada campuran antara kekaguman dan kesedihan di matanya. “Raka, kamu benar,” katanya dengan suara rendah. “Kuda memiliki kekuatan yang luar biasa, dan karena itulah kamu memilih untuk memacunya, bahkan mungkin memukulnya, agar bisa melanjutkan perjalanan. Kuda yang kuat perlu dorongan, bukan karena ia lemah, tetapi justru karena kekuatannya yang besar. Tanpa dorongan itu, kekuatan kuda hanya akan menjadi potensi yang tersimpan, tak pernah sepenuhnya terealisasi.”

    Raka terdiam. Kata-kata sang guru mulai membentuk sebuah pola di dalam pikirannya, sebuah pola yang terasa begitu kompleks namun juga begitu jelas.

    “Seperti kuda dalam cerita itu, Raka,” lanjut sang guru dengan nada yang lebih serius, “kamu memiliki kekuatan besar di dalam dirimu, potensi yang mungkin belum sepenuhnya kamu sadari. Aku tidak memarahimu karena kesalahan-kesalahan kecil itu, tetapi karena aku ingin kamu menjadi lebih dari sekadar baik. Aku ingin kamu menjadi hebat. Dan untuk mencapai kehebatan itu, kamu perlu ditekan, dipacu, bahkan mungkin dihukum lebih keras daripada yang lain. Bukan karena aku marah padamu, tapi karena aku percaya bahwa kamu mampu untuk lebih.”

    Raka merasakan perasaan yang aneh menyelimuti dirinya. Teguran-teguran yang selama ini ia anggap sebagai beban, kini tampak seperti batu loncatan yang dilemparkan oleh sang guru, agar ia bisa melompat lebih tinggi.

    Sang guru menyesap teh lagi, dan melanjutkan, “Terkadang, dalam hidup, kita harus memahami bahwa kritik dan teguran bukanlah tanda bahwa kita tidak diinginkan, tetapi justru tanda bahwa ada harapan yang besar ditempatkan pada kita. Orang-orang yang peduli padamu, mereka akan menegurmu, memacumu, agar kamu tidak berpuas diri dan terus berkembang. Mereka tidak ingin kamu stagnan, mereka ingin kamu tumbuh, bahkan jika pertumbuhan itu terasa menyakitkan.”

    Raka tidak bisa berkata-kata. Ia merasa seolah-olah kabut yang selama ini menyelimuti pikirannya mulai menghilang, memperlihatkan jalan yang lebih jelas di depannya.

    “Jadi, Raka,” kata sang guru sambil meletakkan cangkir tehnya, “terimalah teguran dan kritik sebagai bagian dari perjalananmu. Ingatlah bahwa ini bukan tentang apa yang kamu lakukan salah, tetapi tentang apa yang kamu bisa lakukan lebih baik. Dan percayalah, aku melihat sesuatu dalam dirimu, sesuatu yang mungkin kamu sendiri belum melihatnya. Aku tidak akan membiarkan potensi itu sia-sia. Itulah alasannya.”

    Dengan hati yang kini lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, Raka mengangguk pelan. Ia tahu, jalan di depan mungkin masih penuh dengan tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan lagi meragukan niat baik di balik teguran sang guru. Sebaliknya, ia akan menerimanya dengan rasa syukur, menyadari bahwa setiap teguran itu adalah tanda dari kepercayaan yang besar, dan sebuah undangan untuk menemukan kekuatan sejatinya yang tersembunyi.

    Ketika Raka akhirnya beranjak pergi, meninggalkan sang guru yang kembali larut dalam pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Seperti kuda yang dipacu untuk berlari lebih cepat, Raka kini siap menghadapi dunia dengan tekad yang lebih kuat dan semangat yang lebih besar. Di dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan memenuhi harapan yang dilihat gurunya dalam dirinya, bahkan jika itu berarti harus melewati perjalanan yang panjang dan berat.

    Dan dalam perjalanan itu, setiap teguran akan menjadi pengingat, bahwa di balik setiap tantangan, ada pelajaran yang menunggu untuk diungkap, dan potensi yang menunggu untuk dibebaskan.

     

     

    Kreator : Wista

    Bagikan ke

    Comment Closed: Teguran Sang Guru

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021