Di sebuah desa terpencil yang diselimuti kabut di pagi hari, hidup seorang guru tua yang dikenal dengan caranya yang tak lazim dalam mendidik murid-muridnya. Guru ini, seorang pria berperawakan kurus dengan rambut yang memutih oleh usia, tampak selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya sering kali terasa seperti teka-teki yang menyisakan rasa penasaran dalam hati siapa pun yang mendengarnya.
Salah satu muridnya adalah Raka, seorang pemuda yang selalu merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Ia rajin belajar, tak pernah absen dalam setiap pelajaran, namun ia merasa ada jarak yang tak terdefinisikan antara dirinya dan gurunya. Raka sering merasa dihukum terlalu keras oleh sang guru, padahal ia yakin bahwa kesalahan-kesalahan kecilnya tidak seharusnya mengundang kemarahan sebesar itu.
Pagi itu, Raka berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku menuju rumah gurunya. Langkahnya berat, seolah-olah setiap bebatuan yang diinjaknya mengingatkan kembali akan setiap teguran yang pernah diterimanya. Di kepalanya, berkecamuk berbagai pertanyaan yang belum terjawab, seolah-olah jiwanya terjebak dalam labirin tanpa pintu keluar.
Setibanya di rumah gurunya, Raka mendapati sang guru sedang duduk di teras rumahnya yang sederhana, ditemani secangkir teh yang mengepulkan uap tipis di udara pagi yang dingin. Sang guru menatapnya sekilas, lalu kembali memandang pegunungan di kejauhan, seolah gunung-gunung itu berbicara padanya dengan bahasa yang hanya dia yang bisa mengerti.
“Guru,” kata Raka, dengan nada suara yang sedikit gemetar, “mengapa engkau begitu keras padaku? Mengapa kesalahan kecil yang aku buat harus dibalas dengan teguran yang begitu keras? Aku merasa dihukum terlalu berat untuk sesuatu yang sebenarnya tidak seberapa.”
Sang guru tidak segera menjawab. Ia mengangkat cangkirnya, menyeruput teh dengan perlahan, dan membiarkan kesunyian mengisi ruang di antara mereka. Raka, yang tidak biasa dengan keheningan yang begitu kental, merasa semakin gelisah. Namun, ia menahan diri untuk tidak bicara lagi, menunggu dengan sabar hingga sang guru memutuskan untuk membuka mulut.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad bagi Raka, sang guru akhirnya berbicara. “Pernahkah kamu mendaki gunung, Raka?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh dengan resonansi yang dalam.
Raka mengangguk, sedikit bingung dengan arah pembicaraan ini. “Pernah, Guru. Beberapa kali.”
Sang guru tersenyum samar, seperti mengenang sesuatu yang hanya ia yang tahu. “Bayangkan kamu sedang mendaki gunung yang sangat tinggi,” katanya pelan. “Di sampingmu ada dua hewan—seekor kuda dan seekor kambing. Ketika perjalanan mulai terasa berat dan melelahkan, dan kamu harus memilih salah satu untuk dipacu agar bisa melanjutkan perjalanan, siapa yang akan kamu pukul?”
Raka berpikir sejenak, meskipun ia merasa pertanyaan ini aneh, namun ada sesuatu di dalamnya yang menarik perhatiannya. “Saya akan memukul kuda, Guru,” jawabnya akhirnya.
Sang guru mengangguk pelan, seolah-olah jawaban itu sudah ia duga sebelumnya. “Mengapa bukan kambing?” tanyanya lagi, suaranya tenang seperti permukaan danau yang tak terusik angin.
Raka mencoba menganalisis pertanyaan itu dengan logika yang biasa ia gunakan. “Karena kuda memiliki kekuatan yang lebih besar, dan dia bisa berlari lebih cepat. Kuda bisa menempuh perjalanan yang berat dan mendaki gunung dengan lebih baik dibandingkan kambing. Kambing tidak memiliki kecepatan dan kekuatan seperti kuda,” jawabnya, merasa yakin dengan analisisnya.
Mendengar jawaban itu, sang guru menatap Raka dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada campuran antara kekaguman dan kesedihan di matanya. “Raka, kamu benar,” katanya dengan suara rendah. “Kuda memiliki kekuatan yang luar biasa, dan karena itulah kamu memilih untuk memacunya, bahkan mungkin memukulnya, agar bisa melanjutkan perjalanan. Kuda yang kuat perlu dorongan, bukan karena ia lemah, tetapi justru karena kekuatannya yang besar. Tanpa dorongan itu, kekuatan kuda hanya akan menjadi potensi yang tersimpan, tak pernah sepenuhnya terealisasi.”
Raka terdiam. Kata-kata sang guru mulai membentuk sebuah pola di dalam pikirannya, sebuah pola yang terasa begitu kompleks namun juga begitu jelas.
“Seperti kuda dalam cerita itu, Raka,” lanjut sang guru dengan nada yang lebih serius, “kamu memiliki kekuatan besar di dalam dirimu, potensi yang mungkin belum sepenuhnya kamu sadari. Aku tidak memarahimu karena kesalahan-kesalahan kecil itu, tetapi karena aku ingin kamu menjadi lebih dari sekadar baik. Aku ingin kamu menjadi hebat. Dan untuk mencapai kehebatan itu, kamu perlu ditekan, dipacu, bahkan mungkin dihukum lebih keras daripada yang lain. Bukan karena aku marah padamu, tapi karena aku percaya bahwa kamu mampu untuk lebih.”
Raka merasakan perasaan yang aneh menyelimuti dirinya. Teguran-teguran yang selama ini ia anggap sebagai beban, kini tampak seperti batu loncatan yang dilemparkan oleh sang guru, agar ia bisa melompat lebih tinggi.
Sang guru menyesap teh lagi, dan melanjutkan, “Terkadang, dalam hidup, kita harus memahami bahwa kritik dan teguran bukanlah tanda bahwa kita tidak diinginkan, tetapi justru tanda bahwa ada harapan yang besar ditempatkan pada kita. Orang-orang yang peduli padamu, mereka akan menegurmu, memacumu, agar kamu tidak berpuas diri dan terus berkembang. Mereka tidak ingin kamu stagnan, mereka ingin kamu tumbuh, bahkan jika pertumbuhan itu terasa menyakitkan.”
Raka tidak bisa berkata-kata. Ia merasa seolah-olah kabut yang selama ini menyelimuti pikirannya mulai menghilang, memperlihatkan jalan yang lebih jelas di depannya.
“Jadi, Raka,” kata sang guru sambil meletakkan cangkir tehnya, “terimalah teguran dan kritik sebagai bagian dari perjalananmu. Ingatlah bahwa ini bukan tentang apa yang kamu lakukan salah, tetapi tentang apa yang kamu bisa lakukan lebih baik. Dan percayalah, aku melihat sesuatu dalam dirimu, sesuatu yang mungkin kamu sendiri belum melihatnya. Aku tidak akan membiarkan potensi itu sia-sia. Itulah alasannya.”
Dengan hati yang kini lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, Raka mengangguk pelan. Ia tahu, jalan di depan mungkin masih penuh dengan tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan lagi meragukan niat baik di balik teguran sang guru. Sebaliknya, ia akan menerimanya dengan rasa syukur, menyadari bahwa setiap teguran itu adalah tanda dari kepercayaan yang besar, dan sebuah undangan untuk menemukan kekuatan sejatinya yang tersembunyi.
Ketika Raka akhirnya beranjak pergi, meninggalkan sang guru yang kembali larut dalam pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Seperti kuda yang dipacu untuk berlari lebih cepat, Raka kini siap menghadapi dunia dengan tekad yang lebih kuat dan semangat yang lebih besar. Di dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan memenuhi harapan yang dilihat gurunya dalam dirinya, bahkan jika itu berarti harus melewati perjalanan yang panjang dan berat.
Dan dalam perjalanan itu, setiap teguran akan menjadi pengingat, bahwa di balik setiap tantangan, ada pelajaran yang menunggu untuk diungkap, dan potensi yang menunggu untuk dibebaskan.
Kreator : Wista
Comment Closed: Teguran Sang Guru
Sorry, comment are closed for this post.