KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Terkurung Dalam Diari Merah

    Terkurung Dalam Diari Merah

    BY 13 Mar 2023 Dilihat: 66 kali

    Oleh  :  Wilman Satya Permana (WS Permana)

    “Tenang…tenang anak-anak! Ibu dapat kabar baru buat kalian!” Ibu Guru muda itu memasuki ruangan kelas, dengan wajah bahagia, berusaha menenangkan murid-muridnya. 

    Suara riuh rendah di kelas pun mendadak reda. Semua murid tampak antusias mendengarkan apa yang akan diumumkan oleh ibu guru yang sudah empat tahun mengajar dan mendidik mereka di sekolah SD itu.

    “Selamat anak-anak, Ibu baru dapat kabar dari Bapak Kepala Sekolah bahwa, kalian semua lulus! Selamat ya, Ibu bangga kepada kalian semua, dan ada kabar juga dari bagian pendaftaran SMP, bahwa hampir semua siswa masuk SMP Negeri pilihan masing-masing, hanya beberapa siswa saja yang tidak masuk SMP Negeri pilihannya, tapi jangan kecil hati ya, semoga kelak, kalian lebih berprestasi di SMP. Bagi yang diterima di SMP pilihannya, Ibu ucapkan selamat, semoga kalian lebih giat belajar dan lebih berprestasi lagi di SMP pilihan kalian. Nanti daftar hasil penerimaannya bisa kalian lihat di Mading Sekolah ya,” Ibu Guru melanjutkan pengumumannya.

    “Ibu mohon maaf, pasti Ibu banyak salah, Ibu marah, Ibu menegur, tapi itu semua Ibu lakukan karena Ibu sayang kalian, Ibu ingin kalian jadi anak yang baik, pintar dan sukses di dalam kehidupan ini, sekali lagi, maafkan atas kesalahan Ibu selama mengajar dan membimbing kalian di sekolah ini, mungkin inilah waktu kita berpisah untuk belajar di sekolah ini, tapi ketika kalian bertemu Ibu di luar, jangan lupa sapa Ibu, mungkin Ibu nanti lupa kalian, tapi kalian jangan lupakan Ibu ya,” kata Ibu Guru, sementara tidak terasa matanya berair menahan rasa bahagia dan sedih bercampur jadi satu.

    “Iya Bu, terima kasih, kita tidak akan melupakan Ibu,” jawab siswa-siswi serempak. Sebagian anak perempuan ada yang menangis dan menyembunyikan tetesan air matanya di pundak temannya.

    “Jangan lupa, kalau kalian ada waktu, sering main ke rumah Ibu ya,” kata Ibu Guru, sambil mengeluarkan tisu dari saku bajunya, lalu mengusap air matanya yang mulai membasahi pipinya.

    “Sekian dari Ibu ya, selamat jalan, selamat belajar di tempat yang baru,” Ibu Guru itu, tidak kuasa lagi melanjutkan bicaranya, lalu keluar ruangan kelas menuju ruangan guru.

    Semua siswa saling berpandangan, ada yang berpelukan, ada yang tertawa saling bersalaman, dan lain-lain hal yang diungkapkan mereka sebagai tanda perpisahan.

    Sementara itu, di sudut sebelah kanan kelas, terlihat empat orang murid, tiga murid perempuan, dan seorang murid laki-laki. Murid laki-laki itu tidak lain adalah Andri, duduk di bangku yang berada di depan  ketiga murid perempuan. Ketiga murid perempuan duduk bertiga pada satu bangku yang panjang. Murid perempuan di sisi kiri  yang ternyata adalah Sinta, sementara kedua murid perempuan lainnya adalah teman-teman mereka, yaitu, Rina dan Susi.

    Rina dan Susi memang duduk di bangku tempat mereka belajar, sementara Sinta, karena tidak sedang belajar, ikut duduk di bangku mereka. Tempat duduk  Sinta sebenarnya berada di depan bangku Andri dalam barisan yang sama. Sejak kelas empat, Andri tidak sebangku lagi dengan Sinta, karena ada murid baru laki-laki, pindahan dari SD luar daerah, dan kemudian duduk sebangku dengan Andri, karena sama-sama laki-laki. Sedangkan Sinta menjadi sebangku dengan murid perempuan yang lain.

    “Rin, Sus, kalian diterima di SMP Negeri 42? Sama dengan Andri, ya?” terdengar Sinta bertanya kepada kedua sahabat itu. 

    “Ya Sin, Andri juga barengan kita, ya kan Dri?” tanya Rina, murid yang berkulit hitam manis dan tomboy, sambil menepuk punggung Andri yang sedang mengobrol dengan teman yang berada di bangku depan.

    “Oh, iya Rin, ada apa?” tanya Andri sambil menengok ke belakang.

    “Kamu masuk ke SMP 42, kan?” Rina kembali mengulangi pertanyaannya.

    “Iya Rin, bareng kamu dan Susi, kan?” jawab Andri.

    “Kamu kenapa Sin?” tanya Andri sambil melihat Sinta yang duduk di samping Rina.

    Terlihat mata Sinta memerah, dan kelopak mata agak bengkak seperti habis menangis.

    “Sinta mau pindah rumah ke Jakarta Dri, ya sekolah SMP nya juga di sana,” Rina bantu jawab pertanyaan Andri, karena Sinta tertunduk menahan tangisnya.

    “Apa? Bener itu Sin?” tanya Andri lagi, terdengar seperti suara geledek terdengar di telinganya.

    Tapi kemudian Andri menyembunyikan rasa kagetnya di depan Rina dan Susi dengan bertanya kembali.

     “Kenapa pindah, Sin?” tanya Andri.

    Sinta hanya mengangguk.

    “Iya, ayahnya pindah tugas lagi ke Jakarta, tugas di Bandung sudah selesai,” Rina bantu jawab lagi.

    Sementara itu Susi yang duduk di samping Sinta, mengusap-usap punggung Sinta, berusaha menghibur Sinta.

    Andri sesaat tertegun, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Andri memandang ke sekeliling kelas yang ramai oleh gelak tawa dan suara obrolan teman-teman sekelasnya. Tapi telinga Andri mendadak  seperti tuli, tidak mendengar suara apapun, jantungnya seperti berhenti berdetak, pandangan mata mendadak suram.

    “Dri, Dri, kamu kenapa? bicara dong, Sinta mau pergi nih, mungkin hari ini terakhir kita berkumpul, besok mungkin Sinta sudah ke Jakarta,” tiba-tiba Rina menepuk lagi punggung Andri.

    “Iya, iya Rin, memang besok kamu mulai pindah ke Jakarta Sin?” tanya Andri, sambil mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya.

    “Mungkin Dri, kami berangkat duluan, nanti barang-barang dikirim oleh mobil pengangkut, rumah  akan dijual,” jawab Sinta mulai bisa bicara.

    Andri kembali termenung.

    “Rina! Susi! Kemari dulu dong, ada yang mau aku bicarakan!” tiba-tiba di seorang siswi di barisan yang bersebelahan bangku mereka berteriak memanggil mereka berdua.

    “Ya! Sebentar!” jawab Rina. Mereka berdua pun pindah ke bangku teman yang memanggilnya.

    Tinggallah Andri dan Susi berdua saling berhadapan.

    “Sin, kenapa pindah?” Andri kembali bertanya, seolah masih tidak percaya apa yang di dengarnya tadi, ingin langsung mendengarnya langsung dari Sinta.

    “Ya Dri, ayahku pindah lagi tugasnya, aku nggak punya keluarga di Bandung, jadi aku harus ikut keluarga, semua pindah ke Jakarta,” Sinta menatap Andri, tergambar kesedihan di wajahnya, karena harus berpisah dengan sahabat-sahabatnya.

    Andri lama termenung, muncul kesadaran dirinya, bahwa dia tidak boleh terbawa suasana sedih, dia harus bisa menghibur Sinta.

    “Tidak apa Sin, kamu kan kalau libur bisa main ke Bandung, ketemu kita-kita,” kata Andri, membohongi dirinya sendiri.

    “Iya Dri, tapi tetep saja aku sedih, perlu waktu untuk membiasakan diri jauh dari teman-teman,” jawab Sinta.

    “Aku pun sama Sin, aku kehilangan keluarga baru, gimana kalau ingin ketemu kamu dan keluargamu,” kata Andri sambil berusaha memalingkan muka, menyembunyikan rasa sedihnya.

    “Dri, ada yang mau aku berikan sama kamu, kamu terima ya, nggak seberapa, jangan dihina ya,” kata Sinta sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

    “Wah, Sin, sudah terlalu banyak pemberian dari kamu dan keluargamu, terutama ibumu, saya sangat malu Sin belum bisa membalas kebaikan ibu,” Andri mengungkapkan perasaan, bahwa dia belum bisa membalas kebaikan Sinta dan ibunya tiga tahun belakangan ini.

    “Ini Dri, hanya ini yang bisa aku berikan sama kamu, kalau kamu ingat aku dan keluargaku, kamu bisa buka dan baca ini di dalamnya ya, kamu jangan pikirkan semua yang telah diberikan ibu kepadamu, kami ikhlas kok,” kata Sinta sambil memberikan sebuah diari.

    “Kamu simpan baik-baik ya Dri, jangan sampai kamu melupakan kami,” lanjut Sinta.

    Kelihatan Andri tertegun kembali, seolah tidak percaya apa yang dia lihat dan diterimanya, sebuah diari pribadi  Sinta yang berwarna merah, Andri tahu, Sinta tidak pernah jauh dari diari merah tersebut.

    Di saat keduanya sedang tertegun, tiba-tiba, “ Cie, cie, ada apa nih! Kok dikasiin sama Andri, kita-kita nggak dikasih apa-apa, Siin!?” Rina mengejutkan mereka berdua, ternyata Rina dan Susi telah kembali, mereka langsung mengira-ngira apa yang terjadi antara Andri dan Susi.

    “Sstt… awas! jangan dibilangin siapa-siapa ya, kalau nggak, aku nggak akan anggap kalian teman lagi. Ini Andri, minta kenang-kenangan dari aku, aku nggak punya apa-apa selain ini,” kata Sinta berbohong, sambil menunjuk diari yang sudah ada di tangan Andri.

    “Iya, iya, kita ngerti kok, kalau ada apa-apa juga, kita setuju-setuju aja, ikut bahagia lah, iya kan, Sus?” Rina dan Susi tertawa sambil menutup mulut mereka.

    “Sudah-sudah! Jangan dibahas lagi, aku dan Andri biasa-biasa aja, ya kan, Dri?”

    Andri membalas pertanyaan Sinta dengan senyuman, sambil memandang wajah Sinta, mungkin untuk terakhir kalinya.

    Waktu terus berjalan, semua makhluk menjalani garis kehidupannya masing-masing. Sudah dua tahun Andri menempuh pendidikan di SMP Negeri 42. Awal masuk SMP, ketika kelas satu, Andri tidak sekelas dengan teman-teman semasa SD, yaitu Rina dan Susi. Tapi di kelas dua, mereka bertemu, sekelas kembali.

    Suasana kelas dua G di SMPN 42, pagi itu masih sepi, karena belum banyak siswa yang datang. Terlihat tiga orang siswa sudah duduk di bangkunya masing-masing. “Dri, kamu masih ingat teman-teman SD, terutama Sinta? Sudah ada kabar dari Sinta belum?” kata Rina menyapa siswa laki-laki di bangku yang berdekatan dengan bangku tempat duduknya. 

    Mereka adalah Andri, Rina dan Susi. Rina membuka percakapan sambil tertawa cekikikan begitu pun dengan Susi. Susi sebenarnya anak pemalu, jarang bicara, mungkin pengaruh kondisi badannya yang sering sakit-sakitan sejak kecil. Tapi ketika bersahabat dengan Rina yang tomboy dan periang, Susi pun kelihatan jadi periang dan pemberani.

    “Aku belum ketemu dengan teman-teman SD, Rin, kalian suka kumpul-kumpul?” tanya Andri.

    “Ya iyalah, rumah kami kan berdekatan, jadi tiap hari pasti ketemu Dri,” jawab Rina.

    “Kamu ingin tahu kabar Sinta, Dri?” tanya Rina lagi.

    “Ah, Rin, kenapa harus Sinta saja? aku juga ingin tahu kabar teman yang lain,”  Andri protes.

    “Kan, kalau teman yang lain, kamu bisa langsung dateng ke rumahnya, tapi kalau Sinta, jauh kan, kamu pasti nggak tahu, nggak apa-apa tuh Dri, hanya kita-kita saja yang tahu rahasianya, hi…hi,” kembali Rina dan Susi tertawa cekikikan menggoda Andri.

    “Sudah ah, nanti ada yang denger temen-temen di sini,” Andri berusaha menghentikan godaan Rina dan Susi.

    “Selamat pagi anak-anak!” terdengar suara menyapa, sambil memasuki kelas.

    “Selamat pagi Paak!” seluruh siswa membalas sapaan tersebut.

    Ternyata jam belajar akan dimulai, Bapak Guru bahasa Inggris telah memasuki ruangan kelas. Obrolan Andri, Rina dan Susi pun terhenti.

    Selama tiga bulan pertama perpisahan dengan Sinta dan keluarganya, sangat berat dirasakan Andri. Rasa sepi kembali mendera. Hampir tiap hari sepulang sekolah, Andri membuka lembaran-lembaran diari harian Sinta, sampai Andri hafal isi diari itu.

    Isi diari anak kecil tidak terlalu banyak, lembaran pertama diisi sebuah pantun.

    Buah jeruk buah delima

    Tulisan buruk jangan dihina

    Andri tersenyum membaca halaman pertama diari, karena tulisan Sinta  bagus dan rapi, justru tulisan Andri yang kurang bagus dan kurang rapi. 

    Halaman kedua ada foto, data pribadi. Ternyata Sinta lahir di Tanah Deli, sekarang Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara,  mungkin waktu itu ayahnya sedang bertugas di sana. Sinta berumur satu tahun lebih tua dari Andri.

    Halaman berikutnya, berisi banyak kata-kata mutiara, pantun, kegiatan dan kebiasaan sehari-hari, hobi Sinta serta beberapa pesan motivasi. Ada beberapa pesan khusus untuk Andri.

    Andri sangat hati-hati menyimpan diari itu, disembunyikan di bawah tumpukan buku-buku bacaan, Andri tidak mau orang lain ada yang membaca diari tersebut. 

    Sekarang  Andri jarang membuka diari tersebut. Tetapi hari ini, setelah pembicaraan dengan Rina dan Susi, sepulang sekolah, dia kembali membuka lembaran-lembaran diari, tidak lama, Andri pun menutup kembali diari tersebut dan menyimpannya di tempat semula. Begitulah keadaan itu sering berulang, ketika Rina dan Susi menggoda dan mengingatkan hal tentang Sinta, sesudahnya Andri selalu membuka diari itu.

    Setelah naik kelas tiga SMP, Andri berpisah dengan Rina dan Susi, karena ada pertukaran siswa kelas untuk mengisi kelas yang berbeda, supaya siswa-siswa saling mengenal semua siswa pada angkatan tahun itu.

    Andri telah menginjak remaja, banyak pengalaman baru, berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu agama, telah membuat pemikiran dan jiwa Andri makin berkembang. Andri mulai fokus menata masa depannya. Dengan dasar keyakinan agama yang dipelajarinya, Andri menemukan pesan-pesan moral dan kebajikan yang membuat jiwanya semakin kuat. Ditambah berkat bimbingan neneknya, Andri tumbuh menjadi remaja yang religius.

    Tahun berikutnya, Andri masuk SMA Negeri. Karena usia neneknya semakin tua, akhirnya Andri memutuskan pindah ke rumah ayahnya, dan masuk SMA Negeri dekat dengan rumah ayahnya tersebut. Di SMA Andri lebih banyak mendalami lagi kegiatan-kegiatan pengajian keagamaan di luar jam sekolah, membuat dia semakin religius. 

    Satu hal yang paling disesalkan Andri, sewaktu pindahan ke rumah ayahnya, Andri kehilangan diari Sinta. Entah tertumpuk di mana, atau ada yang mengambil oleh adik-adik tirinya ketika sudah tinggal di rumah ayahnya. Tapi sekarang Andri sudah merasa bisa lepas dari diari tersebut, di samping dia sudah hapal isi diari tersebut, Andri pun merasa malu membuka diari anak kecil menurut pikirannya. Tetapi tanpa dia sadari, sebenarnya memori tentang diari dan segala hal mengenai Sinta kecil, telah kuat tersimpan bersama ingatan masa kecilnya. Ketika suatu saat ada yang membuka ingatan masa kecilnya, ingatan lembaran-lembaran diari itu pun akan ikut terbuka.

    Tiga tahun sudah Andri menyelesaikan pendidikan di SMA, lalu memutuskan melanjutkan kuliah. Andri mendapat informasi bahwa akan diadakan reuni SD, dia pun mengikuti acara reuni tersebut. Banyak yang tidak percaya, Andri sekarang telah banyak berubah, tumbuh menjadi pemuda yang cukup tampan, gagah, atletis dan berkulit bersih, tidak seperti waktu kecil, Andri agak kumal, kecil, kurus karena di rawat oleh nenek yang sudah tua. Tetapi sekarang, Andri sudah bisa merawat dirinya sendiri. Kenangan tentang masa kecilnya pun terbuka kembali, maka ingatan Sinta, dan diari pun ikut terbuka. Ada rasa rindu, bagaimana Sinta sekarang. Ada kabar baik, Sinta melanjutkan kuliah di Bandung, tapi Andri tidak mau menanyakan tentang tempat indekos Sinta, takut teman-temannya menduga yang macam-macam. Andri sembunyikan rasa keingintahuan tentang Sinta, dia bertekad akan mencari Sinta ke kampusnya langsung. 

    Tapi ada hal yang mengganjal di dalam hatinya, apakah Sinta masih ingat kepada dirinya, takut Sinta telah tumbuh menjadi bukan Sinta yang dulu lagi karena pergaulan di kota besar seperti Jakarta. Apakah Sinta sudah punya kekasih, dan hal-hal lain yang jadi pertanyaan sekaligus ketakutan akan hal-hal yang dibayangkannya. Intinya Andri takut kecewa, takut  kalau bertemu dengan Sinta dewasa, tidak seperti harapannya. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari Sinta dengan diam-diam, karena Andri pun tidak tahu bagaimana wajah Sinta sekarang.

    Andri gagal ujian masuk perguruan tinggi negeri, dia pun memutuskan masuk perguruan tinggi swasta yang berdekatan dengan kampus tempat Sinta kuliah. Setiap hari jumat, Andri selalu salat jumat di masjid kampus tempat Sinta kuliah, berharap dia bertemu dengan Sinta. Setelah selesai salat jumat, Andri suka nongkrong dulu sambil makan batagor kesukaannya di samping masjid. Empat tahun berlalu Andri tidak berhasil menemukan Sinta. Ada kabar setelah lulus kuliah, Sinta tinggal lagi di Jakarta. Rasa kecewa menyelimuti hati Andri, tetapi kehidupan harus terus berjalan, dia pun telah lulus kuliah, dan memulai pekerjaan sebagai Supervisor IT di sebuah perusahaan niaga di Bandung.

    Waktu terus berjalan, Andri sekarang telah berusia dua puluh sembilan tahun, entah kenapa dia seperti tidak tertarik kepada wanita, seperti menunggu seseorang, sehingga dia terus berusaha menghindar kalau ditanya oleh ayahnya kapan menikah. Pernah dia utarakan ke sahabatnya, dia mau melajang saja.

    Sampai pada suatu hari, ayahnya yang sedang sakit mengajaknya berbincang dengan serius, “ Dri, ada waktu sekarang? ada yang mau ayah bicarakan,” ayahnya dengan pelan-pelan berbicara.

    “Ya, yah ada apa?” jawab Andri dengan perlahan, melihat ayahnya dalam kondisi sakit.

    “Dri, kamu sudah berusia hampir tiga puluh tahun, Ayah lihat kamu belum pernah kenalkan seorang pun wanita ke ayah untuk dijadikan istri,” tanya ayahnya kemudian.

    “Iya, Yah, belum ada calon,” jawab Andri.

    “Belum, atau Andri belum mau menikah? Ayah denger dari Nenek, ada wanita sering ketemu Nenek di pengajian, suka menyapa Nenek, padahal Nenek tidak tahu siapa dia. Akhirnya Nenek tanya-tanya, katanya dia teman Andri, malah dekat sekali, anaknya cantik kata Nenek, terpelajar, baik, sopan,” ayahnya berusaha bertanya lebih serius.

    “Andri kan tahu, Ayah sudah sakit-sakitan, adik-adikmu sudah berkeluarga semuanya, tinggal Andri saja, Ayah ingin sebelum ayah meninggal, ingin lihat Andri berkeluarga, itu permintaan Ayah yang terakhir, mau kan Andri memenuhi keinginan Ayah?” bujuk ayahnya.

    “Tapi Andri belum serius dengan teman yang itu,Yah,” Andri berusaha memberikan alasan.

    “ Itu gampang Dri, asal Andri kuat niatnya, kalau dari cerita Nenek, anak itu pasti menyukaimu, pokoknya Andri harus punya pendamping, jangan sampai melajang sampai tua, Dri,” kata ayahnya lagi.

    “Iya, Yah,” jawab Andri pendek.

    “Begini saja, coba Andri bicara serius dulu dengan wanita itu, nanti urusan seterusnya, biar dilanjutkan sama Ayah, kita lamar,” ayahnya terus memberi semangat.

    “Baik, Yah” jawab Andri.

    Terlihat wajah ayahnya bahagia, sambil menepuk-nepuk bahu Andri, ayahnya pun berkata, “Kalau sudah ada kabar, beritahu Ayah ya, Dri,” ayahnya bersemangat.

    “Baik Yah,” jawab Andri sambil menundukan kepalanya, hatinya agak bimbang, apakah memang sudah waktunya dia harus menikah dengan wanita yang selama ini ia kenal di pengajian.

    Sudah seminggu ini, tengah malam Andri bangun untuk melaksanakan salat istikharah, memohon petunjuk dan kemantapan hati, apakah pilihannya ini sudah tepat. Akhirnya Andri pun memantapkan hati mau melamar wanita yang dibicarakan oleh ayahnya. 

    Ternyata wanita itu menerima ajakan Andri untuk menjadi pendamping hidupnya. Andri pun mengabari ayahnya. Betapa gembira ayahnya mendengar kabar baik itu, karena diantara putra-putrinya, tinggal Andri saja yang belum menikah. Akhirnya harapannya terwujud, di ujung usianya bisa melihat anaknya itu menikah.

    Setelah dua keluarga berkumpul, lamaran pun diterima, waktu akad nikah juga tidak lupa ditentukan.

    Pernikahan  berlangsung dengan sederhana, karena permintaan sang mempelai wanita. Dua tahun berlalu, Andri telah dikaruniai seorang anak perempuan.

    Andri pun masih bekerja di perusahaan yang sama, memimpin beberapa tenaga muda yang baru lulus, sehingga harus terus membimbing mereka dalam menjalankan prosedur penyedia sistem informasi bagi seluruh bagian di perusahaan.

    Seperti biasa, para pegawai kantoran yang bekerja di depan komputer, waktu istirahat mereka gunakan untuk membuka aplikasi jejaring sosial  facebook, sekedar melepas penat dengan chatting dan lihat foto-foto keluarga, teman atau rekan bisnis.

    Begitu pun dengan Andri, saat ini dia sedang melihat nama Taryana, sahabatnya yang paling pintar sewaktu SD. Teman Taryana sekitar enam ratus orang, Andri tertarik melihat siapa saja teman-teman Taryana. Beberapa menit kemudian Andri tertegun, melihat  nama dan foto profil yang saat ini muncul di monitor komputernya. Ternyata nama teman Taryana yang dilihat Andri adalah bernama Sinta Puspita Sari. Andri langsung membuka profilnya, terlihat wajah perempuan dewasa, Andri mengenal garis wajah yang merupakan ciri khas wajah seseorang yang tidak akan hilang walaupun orang itu sudah dewasa atau menua.

    “Sinta, akhirnya aku temukan, kamu sudah menikah, sudah punya anak dua, siapa suaminya? Tidak ada foto kebersamaan dia dengan suaminya, yang ada hanya kebersamaan dengan anak-anaknya, bahkan ada foto kebersamaan dengan adik dan kakaknya serta teman-temannya,” Andri bergumam.

    Andri lalu klik tombol ‘Tambah Teman’, karena Sinta sedang tidak aktif, maka belum ada respon. Akhirnya Andri menutup akun facebooknya.

    Esok harinya, di jam yang sama, Andri kembali membuka akun facebooknya di komputer dekstop yang sama. Terlihat banyak notifikasi, dan yang membuat jantung Andri berdebar-debar adalah ketika ada notifikasi, ‘Tambah Teman Sinta’, ditanggapi atau diterima. Dengan perlahan, Andri membuka kembali akun profil Sinta, terlihat Sinta sedang aktif, lalu klik tombol Pesan. 

    Dengan perasaan was-was, Andri memberanikan diri, jari-jarinya mulai mengetik, “ Mohon maaf, apa benar ini dengan Sinta yang dulu sekolah di SDN Melati 3?” dengan hati berdebar-debar, Andri menunggu dan melihat bahwa Sinta sedang mengetik jawaban.

    “Ya, haloo Dri, apa kabar, kemana aja baru terdengar kabar?” terlihat Sinta menjawab.

    “Alhamdulillah, ternyata Sinta tidak melupakan aku, sifatnya masih seperti Sinta yang dulu, percaya diri dan tetap tidak sombong, padahal dia sekarang sudah bergelar Magister,” bisik Andri.

    Andri mengetik lagi, “Alhamdulillah aku baik Sin, bagaimana kabar Sinta?” jawab Andri dengan perasaan takut melakukan kesalahan pada pertemuan pertama setelah hampir dua puluh satu tahun tidak bertemu.

    “Nanti aku ceritakan kondisi aku, Dri, oh ya, kamu masih di Bandung?” jawab Sinta membuat Andri bertanya-tanya dalam hatinya.

    Percakapan berikutnya Sinta menceritakan perjalanan hidupnya setelah keluar SD, sampai mereka berkeluarga. Sinta bercerita ada konflik antara ayah dan ibunya, ayahnya menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertama. Akhirnya, hal itu diketahui ibunya, membuat ibunya jadi sakit-sakitan dan tidak lama meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sekarang kondisi ayah Sinta juga sedang kritis, mengidap kanker prostat stadium akhir.

    “Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun, saya turun berduka Sin, dan saya sangat sedih, belum bisa membalas kebaikan ibu, tapi ibu sudah tiada dan aku mendoakan yang terbaik untuk ayahmu, Sin,” Andri ungkapkan kesedihannya.

    “Ya, Dri, terima kasih,” jawab Sinta.

    “Sin, waktu istirahat habis, aku off dulu ya,” Andri pamitan karena jam istrirahat telah habis.

    “Ya, Dri, besok kita lanjut ya, aku masih kangen niih,” jawab Sinta.

    Malam ini Andri sulit tidur, dia teringat kejadian sewaktu masa kuliah, ketika dia sering menunggu Sinta di kampusnya, tapi kesalahan dia sendiri, dia takut ketemu Sinta, malu, tidak percaya diri, sehingga tidak serius mencari Sinta. Tapi kemudian dia teringat, dia kini sudah memiliki keluarga, istri yang cantik dan setia, dan dikaruniai putri yang lucu dan cantik pula, lagi pula sekarang Sinta pun sudah berkeluarga. Timbul kesadaran Andri, dia tidak mau merusak keadaan keluarganya maupun keluarga Sinta. Andri beristighfar, lalu berwudu, kemudian melaksanakan salat sunat malam, lalu berdoa memohon ditetapkan hati dalam kebenaran, jangan sampai tergoda oleh godaan setan dan hawa nafsunya.

    Seperti biasa, seperti kemarin, mengisi waktu istirahat kerja, mereka sudah memulai percakapan di facebook.

    “Dri, aku kan sudah cerita mengenai perjalanan hidup aku sejak kita berpisah sampai saat ini, sekarang gantian dong kamu yang cerita,” Sinta membuka percakapan.

    “Tapi aku malu Sin, tidak ada hal yang luar biasa dalam kehidupanku selama ini, kalau ada hal yang nggak kamu sukai atau kehendaki diceritakan, bilang sama aku ya,” jawab Andri.

    Andri mulai menceritakan dari awal perpisahan dengan Sinta, terasa sangat berat, hampir tiap hari baca diari Sinta sampai menghapalkan isinya. Menjalani pendidikan SMP, selalu digoda Rina dan Susi. Sinta memberitahu Andri, bahwa Susi sudah tiada, karena sakitnya makin parah, Susi tidak bertahan. Andri sangat sedih, teringat Rina dan Susi selalu mengodanya. Berlanjut ke kehidupan di SMA, dia bercerita ada adik kelas yang menyukainya, tapi dia tolak. Ketika mulai menceritakan masa kuliah, dimana dia selalu menunggu di depan kampus Santi, tapi tidak pernah bertemu, kemungkinan Andri tidak mengenal wajah Santi ketika menginjak dewasa.

    “Kenapa kamu enggak mencari aku betul-betul, serius gitu Dri? Sampai sekarang dalam hatiku, selalu merasa ada yang selalu menunggu aku,” dari percakapannya terlihat Santi sangat kecewa.

    “Maafkan aku Sin, memang aku tidak berjuang sekuat tenaga untuk menemukan kamu, itu karena aku takut Sin, minder, aku takut kecewa Sin, aku tidak tahu perasaan kamu kepadaku, kalau ketemu, aku takut kamu menolak atau mengabaikan aku, lalu aku kecewa, maukah kamu memaafkan aku Sin?” Andri berkali-kali meminta maaf.

    Sinta menutup chat tanpa pamitan, kekecewaannya terhadap Andri, membuatnya marah. Beberapa hari Sinta tidak aktif di facebook, butuh beberapa hari untuknya menguasai dirinya kembali.

    Andri dengan sabar menunggu.

    Setelah delapan hari, terlihat Sinta aktif kembali.

    Andri pun mengaktifkan kembali akun facebooknya, tetapi dia tidak langsung menyapa Sinta, takut Sinta masih kecewa kepada dirinya.

    Akhirnya, terlihat pesan baru, “Dri, maafkan aku, aku terlalu egois, tidak memahami keadaanmu ya,” Sinta memulai percakapan.

    “Nggak apa-apa Sin, aku mengerti,” jawab Andri.

    “Coba kamu lanjutkan ceritamu Dri, bagaimana kamu bertahan sampai saat ini,” Sinta meminta Andri melanjutkan cerita.

    Andri mulai menceritakan kembali, selama kuliah, hampir setiap salat jumat, Andri selalu melaksanakannya di masjid kampus Sinta. Setelah salat jumat, setiap ada waktu, Andri  makan batagor di warung bakso dan batagor dekat masjid, sambi melihat wajah para mahasiswa yang keluar dari gerbang kampus. Hampir selama empat tahun, Andri selalu melakukan hal tersebut.

    Setelah lulus kuliah, dia bekerja, banyak wanita yang menyukainya, dia selalu menghindar dengan halus dengan mengatakan dia sudah calon pasangan.

    Pernah terpikirkan oleh Andri, ketika usia sudah di atas dua puluh lima tahun, dia tidak mau menikah. Sampai suatu waktu, menginjak usia tiga puluh, ayahnya mengajukan permintaan terakhir sebelum tutup usia, ayahnya ingin melihat Andri berkeluarga.

    “Akhirnya, Dri, kamu menikah, syukurlah,” Santi akhirnya memahami posisi dan keadaan Andri. 

    “Kamu pun Sin, semoga kamu bahagia,” Andri menambahkan.

    “Sebenarnya, bagaimana kondisi kesehatanmu, Sin?” tanya Andri, sudah lama dia ingin membahas tentang kondisi Sinta.

    “Aku sakit Dri, penyakitku ketahuan ketika aku tes masuk kerja, saat itu aku sudah punya anak dua, dokter mengatakan kondisi paru-paruku ada kerusakan bawaan lahir, paru-paruku tidak berfungsi normal, mengalami pembengkakan, sehingga menekan jantung, suka sesak, cepat cape, nggak kuat naik tangga atau jalan menaik, kepalaku sering sakit. Aku tiap hari harus minum obat, diantaranya obat pengencer darah,“ Santi menjelaskan kondisi kesehatannya saat ini.

    “Innalillahi, Sin, ternyata kondisi kesehatanmu kurang baik. Terbanyak di balik pesona kecantikanmu, keceriaanmu, kamu sakit Sin,” Andri sampai lemas mendengar kondisi Sinta.

    “Aku akan selalu mendoakan kesembuhanmu, Sin, kamu sabar ya, semua pasti sudah ketentuan Tuhan, terus berjuang untuk sembuh Sin, demi anak dan keluargamu,” Andri menguatkan hati Sinta, walaupun hatinya juga terasa sangat sedih.

    “Dri, kapan kita bisa ketemu, kebetulan lusa, aku ada tugas ke Bandung, aku menginap di Hotel Grand Preanger, antara jam dua belas sampai jam dua siang, acara break, kalau kamu bisa dateng, aku tunggu ya, Dri,” kata Sinta.

    “Ingin sekali ketemu Sin, tapi kebetulan minggu ini, aku nggak bisa kemana-mana, anak buah ada yang nggak masuk kerja, jadi aku harus ganti tugasnya dulu,” jawab Andri.

    “Dri, boleh aku tanya agak serius?” tanya Sinta lagi.

    “Boleh, tanya apa Sin?” jawab Andri penasaran.

    “Kalau sekarang perasaan kamu ke aku gimana? Maaf ya, aku hanya ingin tahu aja, Dri,” tanya Sinta sungguh-sungguh.

    “Susah jawabnya Sin, terlalu rumit, kita telah melalui beberapa fase kehidupan, banyak yang berubah Sin, terus terang sebenarnya aku takut ketemu sama Sinta dewasa, entah kenapa aku bisa begitu,” Andri mengungkapkan kebingungannya.

    “Takut kenapa Dri?” Sinta keheranan.

    “Entah Sin, terlalu banyak hal aku alami, banyak menguras emosi dan pikiran,” Andri masih merasa susah menjawabnya.

    “Jadi itu alasannya, kamu nggak mau ketemu aku, Dri?” tanya Sinta memojokan Andri.

    “Banyak sekali ketakutan aku Sin, takut aku tidak bisa menahan diri, setelah lama tidak bertemu, sekarang ketemu lagi, aku takut ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, aku takut melanggar larangan Tuhan, aku takut mengganggu keluarga kamu, aku takut mengecewakan istri, anak dan keluargaku juga,“ Andri mencoba berbicara sejujurnya.

    “Tadi katanya kamu kangen sama aku, Dri, tenang aja, kita masing-masing kan sudah punya keluarga, kita sudah tua Dri, kita pasti bisa menguasai diri kita,” Sinta coba meyakinkan Andri.

    “Sin, dulu sewaktu kecil, aku sangat kesepian, ibu kandungku meninggal ketika usiaku masih kecil, lalu dirawat dan tinggal serumah dengan nenek aku yang sudah tua, lalu muncul gadis kecil cantik berambut panjang, selalu gembira dan ceria, wajah dan rambutnya mirip wajah dan rambut ibuku, sungguh waktu itu aku terpesona, kebaikan ibumu juga makin membuat aku seperti punya keluarga baru, rasa sepiku terobati, aku hidup seperti di dalam taman yang indah bermain bersama Sinta kecil, aku rindu ketemu dan bermain dengan Sinta kecil, tapi ketika melihat wajah Sinta dewasa, entah kenapa, aku seperti kecewa dan takut melihat wajah Sinta kecil berubah menjadi wajah Sinta dewasa, aku terlalu terbuai oleh keluguan Sinta kecil, aku tidak mau Sinta kecilku berubah, mungkin itu yang sekarang aku rasakan, Sin,” kembali Andri mencoba memahami isi perasaannya sendiri saat ini.

    “Oh, jadi perasaan Andri kecil ke aku nggak berkembang ya, Dri?” Sinta mencoba membantu agar Andri tidak kebingungan.

    “Mungkin begitu, Sin, aku mohon maaf ya,” jawab Andri.

    “Kondisi kamu sekarang seperti anak kecil terkurung di dalam raga dewasa, Dri,” isi pesannya Sinta ketik miring, membantu menggambarkan kondisi jiwa Andri saat ini.

    Andri tertegun, “Kamu memang sudah cerdas dari kecil Sin, pandai memahami orang lain,” Andri melanjutkan chat.

    Waktu istirahat telah habis, masing-masing keluar dari akun facebook mereka.

    Entah apa yang dirasakan Sinta, tapi buat Andri, hari ini benar-benar sangat bahagia, Andri telah melepas salah satu beban terberat selama ini dalam hidupnya.

    Waktu kerja telah usai Andri membuka pesan di handphonenya, terlihat ada pesan dari istrinya, “Yah, pulangnya bawa martabak manis ya, terima kasih sayang, hati-hati di jalan ya.”

    “Ok, tunggu ya sayang, sebentar lagi aku pulang,” Andri balas pesan istrinya.

    Sesampainya di rumah, terlihat istri dan putrinya tersenyum, sambil menunggu di depan pintu. Andri pun mencium kening istrinya, lalu menggendong putrinya masuk ke dalam rumah.

    “Ini martabaknya,” kata Andri sambil memberikan sebuah bungkusan kepada istrinya. Putrinya langsung teriak-teriak kegirangan.

    Sambil memandang wajah istri dan putrinya, Andri berkata dalam hatinya.

    “Terima kasih Tuhan, Engkau telah membimbing aku, semoga aku tetap di jalan benar.”

    “Aku tutup diari merah Sinta kecil, aku buka diari putri kecilku.”

    “Wajah Sinta kecil sudah aku simpan di album memori hatiku, sekarang aku tambah album memori hatiku dengan wajah kecil putriku.”

    “Aku takut lihat wajah Sinta dewasa, tapi aku bahagia lihat wajah istriku.”

    “Dulu aku bermain di taman indah bersama Sinta kecil,  sekarang aku bermain di taman indah rumahku bersama istri dan putri kecilku.”

    “Terima kasih Tuhan.”

    Bagikan ke

    Comment Closed: Terkurung Dalam Diari Merah

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021