KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Tertawan

    Tertawan

    BY 16 Jul 2024 Dilihat: 132 kali
    TERTAWAN_alineaku

    Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, sinar matahari menembus celah genteng kaca kamar mandi. Wajah Sarilah pucat pasi, bibirnya membiru, badannya terkulai lemah tak berdaya, tergeletak di lantai kamar mandi.

    Sementara  di luar,  teriknya matahari terasa menusuk kulit, memantulkan sinar-sinar terang ke seluruh permukaan alam. setelah perjalanan yang cukup memakan waktu, melewati pasar, kantor kecamatan, 3 balai desa, rumah-rumah warga, warung remang-remang serta toang panjang dengan hamparan sawah dan pekarangan  akhirnya mereka sampai pada rumah yang dituju.

    “Assalamualaikum…..!!!”

    Seru Ibu Santi, seorang guru perempuan dan kedua muridnya  berdiri di ambang pintu rumah Sari.  Ia mengenakan tunik putih, rok hitam dengan kerudung menjuntai sampai atas lutut, Ibu Santi sedang melakukan home visit karena Sari sudah tidak masuk sekolah selama hampir satu bulan. Sebenarnya selain karena jumlah kehadirannya yang belakangan bermasalah, kecurigaan Bu Santi dan desas-desus yang beredar, menguatkannya agar segera menemui Sari, namun beberapa kali sebelumnya, rencana itu gagal karena tugas di sekolah yang tidak bisa ditinggalkan dan  baru kali ini kesempatan itu terealisasi. Beberapa kali sebelumnya, setelah dihubungi Bu Santi, Sari berangkat sekolah namun sehari setelah itu ia sama sekali tidak pernah berangkat lagi.

           “Assalamualaikum….!!!” Bu Santi mengetuk kembali pintu rumah Sari.

    Setelah dua kali tak ada jawaban, ibu guru cantik berkacamata duduk sebentar memangku tas selempangnya di bangku depan rumah Sari sekedar menghirup udara sejuk yang menyapanya sejak ia memasuki gang. Rumah Sari terletak di tengah pekarangan yang luas, dikelilingi oleh pohon-pohon jati yang kokoh. Pepohonan yang tinggi menjulang dengan daun-daun yang rimbun memberikan perlindungan dari sinar matahari yang terik, sehingga udara di sekitar rumah terasa lebih segar dan teduh.

    Selang beberapa saat tak kunjung ada jawaban bu Santi dan muridnya berinisiatif bertanya pada tetangga yang rumahnya terpisah oleh sepetak pekarangan pohon jati.

     

    “Assalamualaikum bu!, saya guru Sarilah. Apakah Sarilah atau orang tuanya ada di rumah?” tanya Ibu Santi pada seorang perempuan paruh baya berdaster yang sedang menyapu halaman rumahnya.

    “Waalaikumsalam, oh saya tidak tahu bu, tapi saya dengar Sarilah sedang sakit, kata ibunya sudah 2 minggu Sarilah mengurung diri di kamar,” jawabnya, “kalau ibunya sekarang masih di sawah bu, sedang kuli ngoyos (menyiangi rumput di sawah) bapaknya sedang kuli bata.”

    “Oh, begitu ya bu. Terus bagaimana ya, apa mungkin Sari tidur atau memang sedang tidak ada di rumah ?” tanya Bu Santi.

    “Kalau pergi tidak mungkin bu, karena beberapa bulan terakhir ini selain, ke sekolah Sari tidak pernah keluar rumah, bahkan sekitar dua minggu ini dia benar-benar tidak pernah keluar kamar kata ibunya. Ibunya juga kalau sudah pulang kuli selalu ngomel terus menyuruh Sarilah keluar kamar. Begini saja bu, mari saya antar, kita coba ketuk lagi pintunya, kalau belum ada jawaban juga biar bibi yang masuk, mungkin Sari sedang tidur di kamar,” Saran perempuan paruh baya itu sambil memandu Bu Santi.

    “Maaf ya Bu, merepotkan,” ujar Bu Santi sambil mengikuti langkahnya.

    “Ah, gak apa-apa bu,” jawabnya.

    Sesampainya di depan pintu, ibu itu pun memanggil pemilik rumah.

    “Sar….!”

    “Sari…!”

    belum juga ada jawaban.

    “Sarilah…!” panggilnya sambil mengintip dari jendela.

    “terdengar air kran dari dalam kamar mandi bu, mungkin  Sari sedang mandi, tapi kalau mandi masa gak terdengar ada yang memanggil?” gumam bi Tingkem.

    “Wah, mungkin sedang tidur kali bu” cletuk Dina. Tunggu sebentar ya bu, saya masuk dulu,” ujar bi Tingkem memastikan.

    Ibu Santi dan dua muridnya menunggu di luar.

    “Sar, punten (maaf) ya! Bi Tingkem masuk ya!” teriaknya sambil membuka pintu. Terdengar bunyi “klek, kreot…!!!”

    Tidak lama setelah masuk kedalam rumah, bi Tingkem berteriak dengan nada panik.

    Lagi lekas mengapa (kenapa, mengapa) Sar! Bu! Ibu guru!! Tolong…..!!!”

    Mendengar teriakan itu, ibu guru dan muridnya langsung masuk.

    “Ya Allah Sari!”

           “Bu! mari kita bopong. Dina! Bantu ibu, kita bawa saja Sari ke puskesmas,” teriak Bu Santi. Kedua muridnya menutup mulut dan hidungnya dengan kerudung, ekspresi mereka mungkin karena bau anyir atau merasa ngilu, atau bahkan merasa ngeri.

    Lantai kamar mandi berpelur semen yang sudah banyak lubang di sana-sini dipenuhi dengan darah segar, dan Sarilah tergeletak tak sadarkan diri.

    “Bu, maaf, tolong carikan sarung atau jarik!” Anggi, tolong parkirkan motor ! pinta Bu Santi. Bi Tingkem langsung berlari keluar mengambil jarik di jemuran yang terletak depan rumah Sari. “Bu, adanya jarik!!!” teriaknya. “Gak apa-apa bu! Sekedar nutupin bawahan Sari.” Sambil membaringkan Sari di sebuah kursi panjang di ruang tamu, darah segar terus mengalir dari kemaluannya. Rok Anggi dan Dina pun terkena percikan darah tersebut. Bi Tingkem datang menyerahkan kain jarik. Ibu Santi langsung memakaikannya dan mengikatkannya di pinggang Sarilah. Bu, saya bawa Sari ke puskesmas” bu Santi berpamitan.  “ya bu, biar saya yang mencari dan mengabari orang tua Sarilah!” jawab Bi Tingkem setengah berteriak.

    Bu Santi membonceng Sari dan Anggi memegangnya dari belakang. Dina pun turut membuntuti mereka dengan sepeda motor. Perlu waktu 15 menit untuk sampai ke puskesmas, ini membuat bu Santi dan kedua muridnya cemas, namun Bu Santi berusaha tetap tenang dan terus mengendarai motornya. Sedangkan Anggi yang sedari tadi memegangi Sari dari belakang beberapa kali mengusap air mata menyaksikan temannya yang terkulai lemas. Dalam pikirannya, Apakah Sari bisa diselamatkan? Apakah ini pertanda bahwa benar desas-desus di sekolah bahwa banyak yang menduga Sari hamil karena badannya lebih gemuk dibandingkan sebelumnya?, tapi setiap kali ia mencoba untuk bicara dari hati ke hati, Sarilah selalu berusaha menutupi,  “Ah ! Hati menolak percaya, Rasanya tidak mungkin Sari seperti apa yang mereka bicarakan. Sebelumnya Sari anak yang rajin, ia selalu memperoleh nilai bagus di beberapa mata pelajaran, dan lagi dia teman yang baik, meskipun aku tahu dia punya pacar tapi dia tidak pernah Show up mengenai pacarnya baik di kehidupan nyata maupun media sosialnya, meski hanya sekedar pada foto profil sebagaimana pada umumnya teman-teman lainnya. Tetapi menyaksikan peristiwa ini langsung dengan mata kepala ku sendiri cukup menjadi jawaban yang akan ku simpan dalam-dalam.” gumam Anggi dalam hati.

    Sementara itu, Bi Tingkem mencari pertolongan tetangga lain untuk mencari bapak dan ibunya Sari di lokasi kerja mereka masing-masing.

    Hamparan tanah berlumpur tampak dipenuhi barisan tanaman padi  muda dan hijau. angin lembut bertiup membawa aroma segar tanah beberapa petak sawah yang baru saja digarap sehingga menarik perhatian kawanan burung blekok terbang kesana kemari mencari mangsanya. Pada petak yang lainnya mesin traktor menderu-deru membelah kesunyian, Langit cerah dengan awan-awan putih yang bergerak perlahan, menciptakan bayangan lembut di atas permukaan air sawah yang mengkilap. Alam yang damai tercemar oleh perasaan Bi Tingkem yang seolah menggelayuti seluruh udara.

    Pada pukul 11 siang, blok tempat tinggal Sari biasanya sepi karena para orang tua yang masih usia produktif sudah pergi bekerja sebagai kuli batu bata atau buruh tani. Anak-anak yang belum masuk sekolah ikut serta, bermain di sekitar lokasi kerja atau di gubuk-gubuk sawah. Para kakek dan nenek menggembala kambing mereka di padang rumput yang tidak jauh dari desa, sementara anak-anak usia sekolah sedang berada di kelas mereka.

    Bi Tingkem yang memerlukan bantuan merasa semakin risau setelah tiga rumah yang ia datangi semuanya kosong ditinggal empunya. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyusuri jalan. Dengan napas terengah-engah, Bi Tingkem akhirnya mencapai warung kecil di ujung gang . Warung itu biasanya sepi pada jam-jam seperti ini, namun ia berharap ada seseorang disana yang bisa membantunya.

    Sesampainya disana, benar saja ada Mang Mukamad sedang membeli bensin eceran untuk bahan bakar mesin sedot air. Rupanya dia mau mengairi sawahnya dengan mesin sedot tersebut. Mang Mukamad dan pemilik warung sedang membincang sulitnya mencari bensin di desa mereka. Hanya ada satu pom bensin di kecamatan mereka, dan stok bensin yang ada di SPBU terdekat tidak dapat memenuhi kebutuhan petani. Dugaan terjadinya pembiaran pembelian liar BBM dalam jumlah besar berbarengan dengan musim pasca tanam padi dengan cuaca penelang (cuaca panas berkepanjangan setelah beberapa kali turun hujan) sehingga sawah kekurangan air hujan membuat para petani berebut bensin untuk mengairi sawahnya.

    “Mang Mukamad, tolong!!!” teriak Bi Tingkem dari kejauhan.

    “Ada apa, Bi ?” jawab pemilik warung dan Mang Mukamad sambil menoleh penasaran.

    “Bi Tingkem, tadi yang membonceng Sari itu ibu gurunya ya? Sari kenapa, Bi?” tanya pemilik warung.

    “Aduh! Yu Tinah! Aduh…….! Ujar bi Tingkem lalu memutuskan untuk segera meminta tolong ke mang Mukamad. “Mang Mukamad, tolong cari Mang Duliman secepatnya, suruh dia nyusul Sari ke puskesmas sekarang juga! Sari di bawa gurunya kesana!”

    Mang Mukamad mengangguk tegas, memahami urgensi permintaan Bi Tingkem. “Memangnya Sari kenapa, Bi?” tanya Mang Mukamad lagi, mencoba mengerti situasi yang sedang terjadi.

    “Nanti saja ceritanya, Mang. Saya buru-buru mau ke sawah nyusul ibunya Sari, dia sedang menyiangi rumput di sawah Wa Kaji Salam. Yu Tinah, saya pinjam dulu sepedanya ya!” seru Bi Tingkem kepada Yu Tinah yang masih terpana.

    Tanpa menunggu jawaban, Bi Tingkem segera meluncur dengan sepeda ke arah sawah Wa Kaji Salam. Sesampainya di sana, terlihat tiga orang yang sedang membungkukkan badan mereka, menyiangi rumput-rumput liar yang mulai mengganggu tanaman padi. Mereka mengenakan caping yang diikat dengan kerudung dan dikaitkan pada dagu. Terik matahari menjadi saksi tetes keringat seorang ibu membantu suaminya dalam mencari nafkah. Setelah menarik nafas Bi Tingkem pun segera memanggil ibu Sari dengan suara keras, “Bi Sruwet!!!”

    Panggilan itu bergema di antara deru mesin sedot air yang semakin dekat, menciptakan atmosfer yang tegang dan mendesak di sekitar sawah. Langkah-langkah Bi Tingkem terdengar cepat dan terburu-buru, seolah-olah waktu menjadi musuh yang harus dilawan dengan segera.

    Bi Sruwet, yang mendengar panggilan itu, menghentikan pekerjaannya. Dia mengangkat wajahnya yang lelah dan berkeringat, memandang ke arah Bi Tingkem dengan tatapan khawatir. Sawah-sawah hijau di sekitarnya, yang beberapa waktu lalu dipenuhi harapan setelah penaburan pupuk, kini terlihat seolah-olah menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dalam ketegangan yang menyelimuti mereka.

    Sebuah pengakuan

    Selang beberapa saat setelah kepulangan Sarilah dari puskesmas, bi Sruwet sudah tak bisa menahan emosinya. ia ingin segera berbicara empat mata dengan anaknya.

    “Sarilah!!! Sira kuh ya, nok! emak tidak menyangka kamu begini, setiap emak pulang kuli kamu selalu ada di rumah, keceluk  (terkenal) anak baik-baik, setiap ada hiburan tidak pernah ikut-ikutan nonton, setiap ada singa depok tidak pernah emak mendengar laporan kamu ikut-ikutan joged seperti remaja lainnya, pekerjaan rumah dikerjakan semua, kapan kamu berbuatnya nok, Sarilah….!!!”

    “Pantas saja setiap malam selalu ada ayam jago kukuluruk , dalam hati siapa yang hamil duluan, ternyata kamu Sar, anak ku sendiri. Kamu ingat dulu saat lulus SMP emak minta kamu lanjut di sekolah swasta saja yang gratis, kamu nangis-nangis gak mau, maunya gaya di sekolah kejuruan negeri, sudah pulangnya magrib banyak biayanya pula. Orang tua mengalah demi masa depanmu, yang penting kamu rajin, bener, akhirnya emak dan bapak turuti, sudah dituruti sekolah disana kamu minta berhenti mengaji, alasannya capek pulang sekolah magrib langsung ngaji, terus kamu minta beli sepeda motor, kamu bilang biar bisa datang ke sekolah tepat waktu, emak dan bapak turutin lagi, terus kamu minta lagi beli HP, kamu bilang biar mengerjakan tugas-tugas sekolah mudah, mak dan bapak turutin lagi, kami ini sebagai orang tua sudah memberikan yang terbaik, bapakmu sudah keluar modal puluhan juta sampai-sampai bapakmu gadaikan satu bagian sawah warisan demi memenuhi biaya kamu sekolah.  dan sekarang coba kamu lihat, ini surat permohonan pengunduran diri yang harus kamu tandatangani dari sekolah (sambil menunjuk-nunjuk selebaran kertas), kata pak guru yang tadi siang ke sini, kamu tidak perlu ikut ujian, ini lebih baik daripada kamu dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah. Ya Allah gusti, Sarilah…!!! kurang apa emak dan bapak nok? kurang apa lagi?!

    Pribasane pentil asem di sambeli, sira dadi anak wis karuan ngaluk, ngelunjak nok….!!!” Suara bi Sruwet makin meninggi dan bergetar.

    Bi Sruwet diam beberapa saat mengatur nafas dan menahan tangisnya, kemudian ia berbicara kembali “Gusti pengeran… Salah Apa?! Dosa Apa sampai-sampai ujian kami berat begini?!  Nok Sarilah! Dari mana kamu mengerti dan mendapatkan obat penggugur kandungan itu? Apa disuruh pacarmu? Hah?! Dasar anak tidak tahu diuntung, lihat akibatnya, malah milalati (berakibat fatal), wis karuan wewirang wong tua ! (sudah membuat malu orang tua)! Malah menyiksa diri, menyiksa si jabang! Ngraupi tai ning wong tua sira mah Sarilah !!! (mencoreng nama baik orang tua). Kenapa tidak mati saja sekalian nok!”

    Perasaan kesal, menyesal, malu, kecewa, kasihan, semuanya campur aduk membuat ledakan perasaannya meluap-luap. Bi Sruwet terus berbicara sambil menangis tersedu-sedu. Sesekali tangannya mengusap air mata dengan sudut kain jarik yang ia gunakan. Bahunya naik turun menandakan batinnya sangat terguncang dan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi pada Sarilah, anaknya.

    Aduh pa…. ! bagaimana ini pa….! teriak Bi Sruwet pada suaminya sambil menangis dengan kaki selonjor dan tangan menepak nepak kedua lututnya.

    “Sarilah… Sarilah…!!! kamu bilang setelah lulus sekolah mau sekolah bahasa di LPK dan kerja di Jepang. Emak, bapakmu kerja keras nabung menjual hasil panen padi dan catu hasil derep (upah kuli memanen padi orang lain dalam bentuk padi) untuk mempersiapkan itu semua, tapi sekarang…. Duh gusti, Pengeran Siji…!!

    Bi Sruwet tak kuasa melanjutkan perkataannya. Sarilah yang sedari tadi tertunduk menangis menerima amarah ibunya, ia memburu Bi Sruwet, bersujud di kakinya.

    njaluk pangapura mak….. maafkan Sari mak! Maafkan Sari….!!! mereka berdua menangis. Mang Duliman yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka di balik pintu kamar  menitikan air mata menahan sakit yang teramat sangat.

    Setelah Bi Sruwet menginterogasi panjang lebar,  Mang Duliman langsung pergi ke rumah Pak Kuwu (kepala desa) untuk meminta pertolongan menemaninya mendatangi rumah pacar Sarilah. Berdasarkan pengakuan Sarilah, dia baru melakukannya satu kali dan memang tanpa paksaan. Jamu yang ia minum didapatkan dari toko online yang ia pesan di sebuah platform. Sari nekat minum jamu karena pacarnya memblokir nomor telepon dan seluruh akses media sosialnya. Setelah Sari menyadari dia hamil, dia langsung memberitahu pacarnya. Namun sayang, pacarnya menuduh bayi yang dikandung bukanlah anaknya.

    Rumah Agus tidak terlalu jauh, ia masih tetangga desa Sari. Agus bekerja di sebuah pabrik di Jakarta. 6 bulan lalu ia pulang dan menemui Sarilah, kekasihnya yang sudah ia pacari selama 2 tahun.

    Prahara Urung Kaprungan

    Saat ditelpon bapaknya, Agus pun mengakui perbuatannya. Keluarganya pun mengibarkan bendera putih, menerima dan menyanggupi untuk menikahkan mereka, namun pada saat penentuan tanggal pernikahan, Mang Tarlim bapak Agus meminta menunggu paling lama dua hari untuk menyampaikan keputusannya, sebab ia hendak meminta perhitungan hari baik pada seorang yang dituakan di kampungnya. Mang Duliman pun memaklumi dan menerimanya, ia dan Pak Kuwu akhirnya pamit.

    Setelah dua hari berlalu, pada saat yang dijanjikan, ba’da ashar orang tua Agus datang untuk merumuskan tanggal pernikahan.

    “Jadi begini Mang Duliman, kata Wa Kaji Kasan, hitungan Agus dan Sarilah berdasarkan hitungan Panca Pitu itu jatuh pada Urung Kaprungan, segala usaha atau niat baik apa saja yang diupayakan pasangan ini pada akhirnya akan wurung (tidak akan jadi)….” ujar Mang Tarlim setelah berbasa-basi panjang lebar.

    “Terus maksud mang Tarlim apa? Kalau hitungannya jelek, terus bagaimana?!” potong Mang Duliman menegakkan dadanya menahan amarah. “Tunggu dulu, Mang. Tolong dengarkan dulu,” kata Pak RT yang menemani Mang Tarlim.

    “Mohon maaf, Pak RT, mang Tarlim, Agus dan Sarilah ini kan kita nikahkan karena kecelakaan. Perut Sarilah sudah besar, kandungannya sudah tujuh bulan. Kalau memang mau bertanggung jawab, ya sebaiknya kita segerakan saja. Dua hari sudah cukup untuk saya menunggu. Hitungan bagus dan jelek itu bukan urusan. Toh, kenyataannya, anak saya sudah mengandung. Apa gunanya memperhitungkan baik dan jelek?” jawab Mang Duliman dengan nafas yang cukup diatur, raut mukanya mulai memerah.

    “Tapi mang Duliman, sekarang sudah memasuki bulan Kapit (Dzulkaidah). Kita tahu kan, pantangan untuk menikahkan anak di bulan ini? Selain hitungan namanya jelek, hitungan bulannya juga jelek. Tolong dimengerti, saya mau yang terbaik untuk anak-anak kita. Kalau dipaksakan bulan ini, takut kedepannya ada apa-apa. Kata Wa Kaji Kasan, kalau pasangan ini dipaksakan menikah, paling tidak ya pada hari baik, tanggal 28 Rayagung (Dzulhijjah), biar selamat rahayu….” penjelasan Pak Tarlim.

    “Brak!!!” pukulan tangan mang duliman mendarat di meja. aja ngece! (jangan menghina) Sampean itu, pantas saja ngomong begitu! Anak sampean laki-laki, bebas perkara! Lihat Sarilah! Sudah putus sekolah, padahal beberapa minggu lagi mau ujian! Ngandhut-ngandhut jabang (membawa kandungan)! nyawanya hampir melayang karena pendarahan! Sekarang kami masih harus nunggu 1 bulan?! Bagaimana kalau sudah lahiran sebelum tanggal 28?! Hah! Apa ini namanya kalau bukan penghinaan?!” Mang Duliman menjawab sambil menunjuk-nunjuk bapaknya Agus. Mang Duliman seorang suami dan bapak yang sabar kini  benar-benar naik pitam, mukanya semakin merah padam.

    “Bapak!!! Sudah, Pak,” teriak Bi Sruwet dari dalam  setengah berlari menuju ruangan tamu sambil menangis.

    “Tolong tenang dulu, Pak. Kami minta maaf kalau bapak merasa demikian. Bukan maksud kami menghina bapak. Kalau memang belum ada mufakat, sebaiknya kami pamit dulu, biar sama-sama tenang dan tolong beri waktu  mang Tarlim berembug kembali dengan keluarganya. Sekali lagi kami mohon maaf, Pak, kami pamit dulu.” ujar Pak RT menenangkan dan mengajak Mang Tarlim pulang. Sementara itu terdengar isakan tangis dari kamar Sari, semakin lama tangisan itu semakin tersedu-sedu. Setelah memastikan Mang Tarlim pergi jauh, Bi Sruwet kembali memarahi dan menyalahkan Sari atas apa yang terjadi. Sari pun semakin tenggelam dalam tangisannya. Di malam yang dingin, sedingin perasaan sarilah yang kian membeku, dalam ratapnya ia menulis catatan di gawainya;

     Asa ku tamat,

    kenapa kau memalingkan muka saat semua orang memandangku tajam?

    padahal kepadamu kuserahkan pengharapan!

    rasaku sekarat,  

    kenapa kau membisu saat semua orang membincangku pendosa?

    padahal bersamamu ku relakan melati terkoyak!

    hidupku kiamat,

    kenapa kau menjauh saat semua orang mendekat dengan tanya penuh hina?

    padahal engkaulah yang menitipkan kehidupan kecil melalui gua garba!

    Sayang,

    Kuncup mawar telah tanggal,

    Sebelum wanginya tercium angin subuh,

    Sayang,

    Kuncup mawar telah tanggal,

    Sebelum kelopaknya tersentuh hangatnya cahaya dari timur.

    Sayang,

    Kuncup mawar telah tanggal,

    Mengering,

    Dan Tersepak !

     

    Sarilah kembali tersedu. Beberapa saat kemudian, ia kembali menulis dengan jiwa yang hancur;

    Apa yang dapat ku ceritakan padamu, anak ku?

    apa yang dapat ku sangkalkan padamu, ibu dan bapakku?

    apa yang dapat ku yakinkan padamu, ayah dari anak ku?

    dulu,

    harusnya kuputuskan untuk tak merindukanmu,

    agar tak ada peristiwa itu.

    kemarin,

    aku berencana memesan baju kebaya untuk acara pawidya bersama teman-temanku, menabung untuk merias wajah dan membeli buket indah hadiah untuk guru dan orang tuaku.

    kini, baju kebaya itu bahkan tak kusiapkan untuk hari pernikahanku.

    Kemarin,

    aku merenda mimpi belajar bahasa dan terbang ke negeri Sakura,

    Kini, aku tertawan, melangkahpun enggan.

    dulu, 

    dalam diam aku senang berada di tengah-tengah mereka yang membincang berbagai hal di jam istirahat sekolah.

    kini, aku menarik diri dari perbincangan mereka terhadapku.

    Aku sendiri dalam penghakiman,

    Aku sendiri dalam kebimbangan,

    Aku sendiri dalam ketidakpastian,

    Aku sendiri dalam kesakitan.

    Mimpiku tertawan di tengah jalan!

    Rasaku sekarat,

    Asa ku tamat,

    Hidupku kiamat!

    Tangis Sarilah semakin pilu, isak tangisnya bersahutan dengan suara burung hantu, memecahkan keheningan malam, suara angin dan gemerisik daun semakin menandakan bahwa seluruh penghuni rumah sedang berada di ujung nadir kegetiran. seperti halnya anak dan istrinya, mang Duliman masih terjaga, ia masih berusaha meredam emosinya, ia duduk di kursi depan rumah dengan perasaan kalut, Sesekali ia menghisap rokok yang tinggal puntung kemudian menghembuskan asapnya, seolah mencari ketenangan dalam kepulan asap yang perlahan hilang di udara. Isakan Sarilah terdengar memekik terasa mencekik kerongkongan dan menyayat hati Mang Duliman, seorang bapak yang selalu berusaha bekerja keras agar anak dan istrinya bahagia.

    Setiap pagi, ia berangkat bekerja dan baru pulang saat petang, memeras keringat sebagai kuli. Pekerjaannya di pabrik batu bata beragam, terkadang ia harus menggali tanah atau menceburkan diri seharian di kubangan lumpur untuk mengambil tanah liat dan membentuknya menjadi bola-bola besar. Pada hari-hari lain, ia mencetak batu bata dengan bantuan mesin, sebuah tugas yang membutuhkan ketangkasan dan kehati-hatian ekstra. Pernah suatu kali, tangan temannya terpotong saat bekerja dengan mesin itu, membuatnya kehilangan pekerjaan. Lebih menyedihkan lagi, bos bata hanya memberikan sedikit uang sebagai bantuan biaya perawatan, tak ada asuransi apalagi BPJS Ketenagakerjaan.

    Tangis anaknya terus terngiang-ngiang di telinganya, ia teringat Sarilah kecil yang  tantrum ketika di ajak ngobeng di hajatan saudaranya yang berada di kampung Sebelah, tuan hajat yang mengkhitan anaknya mengundang hiburan arak-arakan singa depok. Mang Duliman Tak dapat menuruti permintaan anaknya, saat itu ia tidak punya uang menyumbang sewa singa depok pada tuan hajat, untuk sawer dan membiayai minuman serta rokok dalang yang memanggul singa depok. Sejak saat itu, mang Duliman terus memecut dirinya agar anak semata wayangnya dapat terus tersenyum sumringah seperti anak-anak  lain pada umumnya. mang Duliman, Ia korbankan masa-masa bermain dengan anaknya, kasih sayangnya ia Tumpahkan melalui bulir-bulir keringat lelahnya untuk memperbaiki ekonomi keluarga, yang terpenting baginya dapur rumahnya tetap ngebul dan semua keinginan serta cita-cita anaknya yang ingin melanjutkan Sekolah bahasa di LPK jepang dapat terwujud.

    Mang Duliman beranjak dari rumah, langkah kakinya yang gamang menuntunnya ke mushola di penghujung gang dekat warung yu Tinah. Entah kapan terakhir kali ia menginjakkan kakinya di mushola ini, yang ia ingat terakhir kali ia sholat saat lebaran idul fitri tahun lalu. Dengan ragu-ragu ia menyalakan kran air mengambil air wudhu sekenanya, kemudian ia memasuki pintu mushola. Ia bingung  mau melakukan sholat apa, ia mantapkan saja hatinya kemudian mengangkat kedua tangannya  bertakbiratul ihram. Hanya lafadz Allah, Allah Allah yang dapat ia baca sampai salam, ia teringat pesan pak lebe (pegawai desa yang bertugas menangani masalah urusan keagamaan termasuk tahlil dan pernikahan) saat bertemu di acara tahlil tetangga, sesaat setelah acara tahlil, para kerabat tuan rumah tidak segera pulang sekedar untuk ramah tamah ngobrol ngalor-ngidul, kemudian ada yang bertanya pada pak lebe bagaimana cara solat sementara dia tidak bisa melafalkan bacaan shalat, kemudian pak lebe menjawab lafadz Allah, Allah saja juga sudah cukup kalau memang berhalangan berjamaah.

    Setelah salam mang Duliman, menengadahkan tangannya untuk berdoa :

     

    “ Duh Gusti,

    Nyuwun pangapura”

     

    Doa tersebut ia ulang-ulang, bahunya naik-turun, tangisnya membuncah melepaskan semua beban perasaannya sampai ia tertelungkup bersujud. Setelah perasaannya tenang ia kembali duduk bersandar pada dinding, dari kejauhan terdengar sayup-sayup puji-pujian dari masjid kampung sebelah.

     

    “ Ya arhamarrohimin, irhamna….”

    Mang duliman tertidur.

     

    Yu Tinah  kaget dan merasa terharu melihat mang Duliman tertidur di dalam mushola, ini pemandangan baru selama bertahun tahun ia ikut sholat  apalagi jamaah subuh. dalam hatinya betapa berat ujian yang dialami mang Duliman dan keluarganya, kabar mengenai kehamilan Sarilah menyebar ke seluruh warga kampung bahkan sampai ke kampung-kampung sebelah. Dengan hati-hati, ia menyalakan speaker dan memulai puji-pujian menunggu suaminya adzan subuh.

    Astaghfirulloh, robbal baroya

    Astaghfirulloh, minal khotoya

    Astaghfirulloh, robbal baroya

    Astaghfirulloh, minal khotoya

     

    Gusti kang agung

    Kula nyuwun ampun

    Dosa kang nggunung

    Bertaun-taun

    Pangkat lan dunnya, di junjung-junjung

    Besuk; akhirat, kang bakal mentung.

     

    Astaghfirulloh, robbal baroya

    Astaghfirulloh, minal khotoya

    Astaghfirulloh, robbal baroya

    Astaghfirulloh, minal khotoya

     

    Ya Allah Gusti

    Melas badan iki

    Lawas wis lali

    Atine mati

    Waya izroil, teka mareki

    Awake gigil, cangkeme ngunci

    Awake gigil, cangkeme ngunci

     

    Astaghfirulloh, robbal baroya

    Astaghfirulloh, minal khotoya

    Astaghfirulloh, robbal baroya

    Astaghfirulloh, minal khotoya

     

    Mang Duliman yang sedari tadi meresapi syair tersebut kembali menitikan air matanya ia kemudian beranjak untuk berwudhu dan ikut berjamaah subuh.

    Keesokan harinya, Mang Duliman meyakinkan diri. Ia kembali meminta pertolongan kuwu, kebetulan  Wa Kaji Salam, pemilik pabrik batu bata dimana Mang Duliman kuli merupakan kakak Pak Kuwu, sehingga memudahkan Mang Duliman meminta pertolongannya. Pak kuwu pun bersedia, mereka segera pergi mendatangi rumah Agus yang kedua kalinya untuk memastikan keputusan yang akan diambil.

    Setelah bernegosiasi panjang lebar, akhirnya Mang Tarlim menerima permintaan keluarga Sarilah meski dengan berat hati. Hari pernikahan disepakati, terhitung empat hari yang akan datang yakni hari Sabtu pahing bulan Kapit jam 9 pagi bertepatan dengan  kepulangan Agus  yang sengaja mengambil cuti, ia bekerja di  perusahaan minyak goreng di Jakarta.

    Pernikahan dan Kehadiran yang tak terduga

    Hari pernikahan telah datang, tak ada tenda, tak ada tamu undangan, selain  Lebe, hanya keluarga inti dan tetangga dekat yang menyaksikan, hidangan pun disediakan seadanya, pernikahan dilaksanakan secara siri karena secara Undang-undang Sarilah masih di bawah umur, namun demikian secara administrasi Lebe tetap mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama agar nanti setelah dikabulkan pernikahan mereka tercatat sesuai dengan hukum perundang-undangan yang berlaku.

    Waktu masih pukul 7.00 pagi, Sarilah mengenakan gamis putih dan kerudung dengan corak bunga-bunga kecil. Ia merias wajahnya dengan seadanya, perasaannya tak terdefinisi. Di hari pernikahannya, hatinya belum lega karena belum berkomunikasi langsung dengan Agus, kekasihnya. Nomor teleponnya masih diblokir. Saat langit mulai memperlihatkan rona keemasannya, pandangan Sarilah tertuju pada halaman depan melalui jendela kamarnya, hatinya gelisah menanti kedatangan calon suaminya.

    Tak lama kemudian, Agus beserta keluarganya tiba. Dari dalam rumah, Bi Sruwet memburu Agus di depan pintu rumah.

    “Aduh Nang, lihat Sarilah! Woh berenuk ning pager doyong, wayah blenduk malah ditinggal ngloyong, tegel temen Nang  (setelah hamil ditinggal pergi, tega sekali kamu nak), jadi laki-laki berani berbuat, harus berani bertanggung jawab! Sira malah ngilang laka kabar beritane! (Kamu malah menghilang, tidak ada kabar beritanya),” Bi Sruwet menuntun Agus dengan menggamit tangan kanannya masuk ke dalam kamar Sarilah dengan nada marah dan bergetar menahan tangis.

    Di ruang tamu, prosesi ijab kabul tengah dipersiapkan. Bi Sruwet meninggalkan Agus dan Sarilah berdua di dalam kamar. Ia tahu, ini adalah kali pertama Agus dan Sari bertemu bahkan berkomunikasi langsung setelah Agus mendapati kabar Sari hamil.

    Setelah Bi Sruwet keluar dari kamar, Sari duduk di kursi plastik. Ia hanya menatap Agus dengan linangan air mata. Ia kehabisan kata-kata, antara lega, marah, sedih, dan terlebih ia menahan sakit dalam perutnya yang sudah ia tahan semenjak magrib kemarin.

    Agus pun berlutut di hadapannya. Ia memegang tangan Sarilah dan menangis di pangkuannya.

    “Maafkan, aa nok.”

    Sarilah pun menangis tersedu-sedu, menelungkupkan kepalanya di punggung Agus.

    “Perutku sakit, sejak kemarin.” Belum sempat Agus berbicara, Sarilah merintih, “Aghhhh…!!” 

    “Aghh…!!”

    “Nok….!, kenapa, nok…!!!” Sarilah kini menjerit.

    “Aghhhh!!!”

    Begitu mendengar suara anaknya menjerit, Bi Sruwet langsung masuk.

    “Ada apa?!”

    “Ada apa?!”

    “Gak tau mak! Katanya dia sudah sakit perut sejak kemarin” Jawab Agus

    Pangeran! Apa dia mau melahirkan!” teriak Bi Sruwet

    “Darmi! Cepat ke rumah Mak Carwiyah, dukun lahiran! Bonceng dia, minta dia menemani Sarilah ke rumah bidan!” Teriak Bi Sruwet pada adiknya. Adiknya pun pergi setengah berlari dengan menjinjing gamisnya. Mendengar ribut-ribut di dalam kamar, Mang Duliman pun masuk.

    “Ada apa, Mak?” tanya mang Duliman pada istrinya.

    “Aduh, Pak! Sepertinya Sarilah mau melahirkan, Pak.”

    Sarilah terus mengaduh. Ia berdiri setengah membungkuk, “Mak, sudah gak bisa jalan, Mak, sakit sekali.”

    “Gimana, Pak…?” Tangis Bi Sruwet karena panik.

    Mang Duliman pun membopong Sari keluar, sontak saja membuat geger keluarga yang hadir.

    “Tolong siapkan mobil.” Keluarga Agus kan tadi ada yang bawa mobil kolbak. “tolong, cepat antar kami.” Semua orang menengok, bahkan mengerumuni Mang Duliman dengan berbagai pertanyaan yang dilontarkan. Suasana yang tadinya kaku berubah menjadi ribut, sopir mobil yang dimaksud dengan sigap berlari menuju mobil, kemudian memarkirnya tepat di depan rumah Sarilah.

    Keluarga Sarilah, Agus, dan para tetangga dekat saling bertatapan, saling bertanya satu sama lain. Ada yang merasa kasihan, ada yang ikut cemas, dan kebanyakan mereka menggunjing tentang apa yang mereka saksikan. Setelah Mang Duliman membopong Sarilah ke atas mobil kolbak, dia meminta Bi Sruwet dan Bi Tingkem untuk menemani Sarilah ke rumah bidan. Kemudian ia kembali lagi ke dalam rumah.

    Agus hanya berdiri mematung dengan mata merah dan wajah yang pucat pasi. Melihat keributan yang sudah tak terkendali, Pak Lebe langsung menemui Mang Duliman, dan mengajak Agus beserta bapaknya dengan dua orang saksi kembali memasuki ruang tamu yang sudah dipersiapkan sebagai tempat ijab kabul.

    “Mang Duliman, Nang Agus, sebaiknya kita segerakan saja ijab kabulnya,” pinta Pak Lebe.

    “Mang Duliman dan Mang Tarlim pun mengangguk.”

    “Nang, mempelai pria, dibawa mas kawinnya?” Agus pun langsung merogoh saku jas hitamnya dan menyerahkan sebuah kotak cincin.

    “Dibuka nang, biar jelas ada cincinnya, berapa gram?” Tanya Pak Lebe saat Agus membuka kotak cincin.

    “Dua setengah gram, Pak,” jawab Agus menunduk.

    “Pak, mana saksinya?” Tanya Lebe kemudian.

    “Ini Pak, Paman Agus,” kata Mang Tarlim menunjuk adiknya. “Saksi yang satu lagi, Bapak?” Tanya Lebe pada seorang lagi.

    “Iya, saya Pak,” jawab kakak Mang Duliman.

    “Maaf, Mang Duliman, Senok Sarilah ini anak kandung Mang Duliman?” Tanya Lebe pada Mang Duliman.

    “Ya, Pak, anak kandung,” jawab Mang Duliman menegaskan.

    “Alhamdulillah, sudah lengkap ya, ada mempelai pria, wali, mas kawin, dan dua orang saksi. Mari kita mulai saja ya. Nang, kita latihan dulu.”

    Setelah beberapa kali latihan, Lebe pun memulai akad nikah. Lebe membaca istighfar dan dua kalimat syahadat untuk memulai prosesi ijab kabul. Setelah Mang Duliman menyerahkan perwakilan wali kepada Lebe, Lebe pun menjabat tangan Agus.

    “Saudara Muhammad Agus Setiawan Bin Tarlim, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Sarilah binti Duliman yang walinya telah mewakilkan kepada saya untuk menikahkannya dengan engkau dengan mas kawin cincin emas seberat dua gram  setengah dibayar tunai!”

    “Saya terima nikah dan kawinnya Sarilah binti Duliman dengan mas kawin cincin emas berat dua gram setengah dibayar tunai.” Dengan segera, Agus melafalkan ijab qabul setelah Lebe menarik tangannya. “Sah?” Tanya Lebe pada saksi. “Sah,” jawab yang hadir dengan kompak. “Alhamdulillah…” jawab Lebe dilanjutkan dengan doa.

    Sementara itu, di rumah bidan, Sarilah tengah berbaring lemas setelah berjuang mempertaruhkan nyawanya. Ia menangis melihat anaknya yang sudah lahir. Bi Darmi memperlihatkan video call dari anaknya yang menghadiri acara ijab kabul. Begitu prosesi ijab kabul sah, bayi mungil berbobot 1,5 kilogram lahir.

    Pamali

    Setelah lahir, bayi Sarilah langsung dirujuk ke RSUD sebab berat badannya hanya mencapai 1,5 kg. Di rumah sakit bayi Sarilah dirawat di inkubator. Selama seminggu suami, orang tua dan mertua Sarilah bergantian bolak-balik ke rumah sakit untuk menunggui bayi yang diberi nama Naisya Kusuma Putri. Sarilah yang kerap kali ingin ikut, tidak diperbolehkan karena menurut kepercayaan mereka sebelum wesuh (40 hari) perempuan habis melahirkan pantang keluar rumah.

    Pada hari kedelapan, dokter menyatakan Naisya boleh di bawa pulang. Kata dokter Naisya mengalami perkembangan yang bagus, ia dapat bernafas spontan tanpa membutuhkan bantuan oksigen, suhu tubuhnya selalu stabil, refleks hisapnya bagus, tidak mengalami kuning, dan bebas dari infeksi.

    Kepulangan Naisya, seperti angin segar untuk ibunya, Sarilah yang begitu tertekan dengan kehidupan barunya pasca menikah sekaligus melahirkan. Banyak tata cara mengenai kebiasaan sehari-hari yang ia lakukan mendadak pantang dan salah di mata orang tua dan mertuanya. Setiap gerak-geriknya tak  luput dari pengawasan mereka. Pernah suatu kali Sarilah mengantuk, dan kemudian bi Sruwet melarangnya, “nok, pamali tidur siang nanti darah kotornya naik ke mata, nanti penglihatanmu akan kabur. Di waktu lain, Sarilah yang kedapatan sedang menyantap mie rebus langsung di tegur mertuanya, “pamali nok, jangan makan sembarangan, lauknya harus di garang (goreng tanpa minyak) atau dikukus kalau mau kuah makan sayur bening, sayur emes, sayur, kukuk, atau sayur katuk biar air susunya keluar, tidak macet seperti itu, kalau mengandalkan susu formula terus nanti boros, gaji Agus kan tidak seberapa.” Sebenarnya sarilah menyadari ucapan mertuanya terkait keuangan memang benar, namun entah mengapa, dia merasa sedih, kecewa dan sangat terpukul, berhari-hari ia makan dengan menu tersebut, Sayur bening katuk, tempe, bawang putih, dan kunyit yang digarang, termasuk hari ini, tapi dia ingin kuah yang pedas sekedar untuk menghilangkan rasa kantuknya.

    Di lain kesempatan, Sarilah ditegur bi Tingkem saat memeras baju yang hendak dijemur, katanya pamali, nanti badan Naisya sakit dan sulit tidur padahal siapa lagi yang mau menjemur, kedua orang tuanya sedang bekerja, suaminya pergi keluar rumah sesuka hatinya gumamnya dalam hati. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia menyadari maksud mereka memang baik, tapi seolah perang batin, terlebih lagi merasakan perangai Agus berbeda dengan Agus yang dulu ia kenal, dingin, semaunya sendiri, dan tak pernah mau tau keadaannya membuat Sarilah begitu tersiksa hingga kerap kali ia menangis sendirian.

    Kidung dan Senandung Duka

    Sore ini  Naisya kembali demam.

    “Oa…!”

    “Oa…!”

    Kemudian tangisan itu berubah menjadi rintihan, bahkan hanya terdengar suara “erkh! erkh!” dari mulut bayi mungil dengan berat badan 1,9 kg. Bayi prematur yang umurnya  baru 47 hari menderita demam tinggi dengan mata yang terus menatap ke atas, membuat siapa saja yang melihatnya tidak akan tega. Sarilah menemaninya dengan linangan air mata, kedua neneknya gugup mondar-mandir kesana-kemari, menunggu Mang Duliman pulang dari rumah wa kaji Salam untuk meminjam uang guna keperluan membawa Naisya ke rumah sakit sesuai saran dari bidan desa.

    Di halaman depan rumah, mertua Sari menunggu suaminya yang sedang menjemput Mak Carwiyah, seorang paraji yang menemani Sari melahirkan. Sejak lama ia dipercaya warga kampung bisa mengobati berbagai macam penyakit pada bayi, ibu hamil, melahirkan, dan menyusui, termasuk penyakit yang disebabkan oleh gangguan jin sekalipun. Entah kebetulan atau memang mujarab, ketika dua hari dan seminggu yang lalu bayi ini mengalami hal yang sama, setelah ditangani Mak Carwiyah, Naisya sembuh dan tertidur pulas.

    Beberapa saat kemudian Mang Tarlim datang, Mak Carwiyah mengikutinya dari belakang. Setelah masuk rumah, Mak Carwiyah kemudian menggendong bayi tersebut sambil berkomat-kamit, setelah itu ia melantunkan sebuah kidung sambil mengayun-ayun Naisya dengan kedua tangan di atas pangkuannya :

    Kidung Rara Roga

    Raut wajah bayi mulai terlihat tenang. Setelah selesai melantunkan kidung, Mak Carwiyah mengambil daun dringo serta seruas bengle yang ia bawa dari rumah. Ia mengunyahnya sambil berkomat-kamit membaca jampi:

    Jampi Ketawa-Ketawi

    Ketawa-ketawi

    Ketawa upas 

    Ketawa geni

    Ketawa angin

    Ketawa iduh keputih

    Ana lara metu sejeroneng balung

    Metu sejabaneng sum-sum

    Sum-sum metu sejabaneng otot

    metu sejabaneng daging

    metu sejabaneng kulit

    metu sejabaneng wulu

    Rep sirep cep adem

    adema kaya banyu pitung windu!

    Kemudian Mak Carwiyah menyemburkan sedikit dringo dan bengle yang sedari tadi ia kunyah pada bagian perut, dan kening sebagai kias. Panas Naisya mulai menurun dan tertidur pulas.

    Setelah meletakan bayi pada box bayi berlampu pijar, Mak Carwiyah pamit. Bi Sruwet mengucapkan terima kasih sambil membawakan beras 1 tang (4 liter) sebagai tanda terima kasih. Mang Tarlim pun mengantarkannya pulang. mereka memutuskan untuk membawa Naisya ke rumah sakit besok pagi berbekal uang yang dipinjam dari wa kaji Salam. Rumah Sari kembali sepi, suara jangkrik kembali terdengar. Bi Sruwet dan Mang Duliman tertidur di samping bayi bersama kedua orang tua Agus. sementara Agus, dua minggu setelah pernikahan, Agus kembali lagi ke Jakarta karena masa cutinya selesai. Dan Sarilah, ia  duduk menatap wajah dan membelai kepala anaknya.

    “Anakku, Naisya Kusuma Putri, sehat ya sayang. Hanya Naisya yang membuat mimi kuat sampai detik ini. Maafkan mimi yang pernah ingin menggugurkanmu, maafkan mimi ya nak, ini semua salah mimi, maafkan mimi ya nak, kita berjuang ya,” tangis Sarilah pun pecah. 

    Sarilah tak  kunjung terpejam, Ia teringat dengan banyak hal, kejadian saat bertemu dengan Agus sampai terjadi hal yang tak diinginkan, teringat Agus yang memblokir akses komunikasinya, teringat kata-kata agus yang menyalahkannya, teringat tetangga, teman, kerabat dekat bahkan saudara yang menjenguk. teringat pertanyaan – pertanyaan mereka yang menusuk hati, saran-saran mereka mengenai cara mengurus bayi prematur terdengar menyakitkan. Tak jarang mereka menyalahkan Sarilah, sejak kehamilannya sampai bayinya telah lahir, tak ada malam yang ia lewatkan tanpa tangisan.

    Mengenai perasaannya pada Agus, Sarilah sudah tak peduli, ia mati rasa. Ada Agus, tidak ada Agus, sama saja. Sikap Agus tetap dingin, sesekali suaminya menelpon dan tak banyak yang ditanyakan selain keadaan anaknya. Kerap kali ia pun menyalahkan Sarilah karena masalah ASI dan anaknya yang sering sakit. Sarilah, ia berjuang sendiri menghadapi kenyataan hidup yang begitu pahit.

    Angin berdesir menyapu daun bambu, pohonnya berderit memecah keheningan penghujung malam. Bayi Naisya kembali menangis, badannya panas tinggi. Mang Duliman segera menelpon bidan kemudian wa kaji Salam untuk meminjam mobil. Setelah mereka datang, Sarilah menggendong anaknya ditemani orang tua dan mertuanya pergi ke rumah sakit. Sampai di tengah jalan, tubuh bayi kembali kejang, matanya menghadap ke atas. Setelah beberapa saat, si bayi menjerit panjang sambil menarik nafas. Kemudian matanya terpejam, badannya lemas dan setelah bidan memeriksa tubuhnya untuk memastikan, Naisya telah tiada. Sarilah yang sedari tadi menangis mengguncang-guncang tubuh anaknya “Nai, bangun nok, bangun! jangan tinggalkan mimi nok, jangan tinggalkan mimi!!!” ia menjerit dan terus mengguncang-guncang bayi dalam pelukannya, bidan yang duduk disamping Sarilah memeluknya, ikut merasakan kegetiran hati Sarilah. “nok…mimine melu nok, mimine melu…..”  jerit sarilah semakin tak terkendali. Baginya tak ada lagi harapan untuk semangat menjalani hidup. Suasana di dalam mobil menjadi  gaduh dengan suara tangis penumpangnya.

    Tiga hari setelah kepergian anaknya, Agus pulang. Ia dipecat dari pekerjaannya, kerap kali ia terlihat uring-uringan dan tak jarang juga ia membentak Sarilah.

    Suatu pagi, mang Duliman keluar menemui pak lebe untuk memintanya memimpin doa pada acara 7 hari kepergian Naisya, Bi Sruwet pun pergi ke pasar membeli perlegkapan bumbu dan sayuran untuk acara tersebut. Sarilah yang melihat suaminya hendak pergi mancing menegurnya. “mau kemana a?” tanya Sarilah memastikan. “mancing!” jawabnya ketus. “Mancing lagi! Mancing lagi! Di rumah sedang repot malah keluyuran gak jelas! Dari awal kamu memang tidak peduli dengan anak kita, sampai ia meninggal, sedikitpun kamu tidak merasa kehilangan!” “Teriak Sarilah” “apa kamu bilang! Kamu pikir kamu saja yang kehilangan hah?! Dasar perempuan pembawa sial! Lagi pula apa benar dia anak ku? Masa hitungan hamilnya 7 bulan, hitungan kita melakukan itu 6 bulan bukan tujuh bulan. Jujur saja kalau kamu selingkuh dengan orang lain! Tau begini aku tidak akan pulang untuk menikahimu! Jangan cari aku, aku mau pergi! Agus terus melangkah keluar dengan emosi, Sarilah mencegah dan terus menarik tangan suaminya dan “Bug!!” Agus memukul kepalanya. Agus berlalu dengan membanting pintu “kreot, Gablog!”

    Setelah peristiwa itu Sarilah mengurung diri di dalam kamar, ucapan suaminya terasa menusuk-nusuk jantung dan sanubarinya, padahal berulang kali bidan menjelaskan, hitungan kehamilan dimulai sejak mens terakhir bukan saat pembuahan. Sarilah, keadaannya semakin kacau. kadang ia menangis, kadang ia diam termangu dengan tatapan kosong.

     Malam harinya, Bi Sruwet curiga dengan menantunya yang belum pulang dan Sarilah yang seharian tidak keluar, ia membuka pintu dan masuk ke kamar anaknya,  dia terperangah, melongo melihat keadaan kamar anaknya yang berukuran 3 meter persegi, berdinding batu bata dengan jendela menghadap bagian depan rumah  biasanya rapi menjadi berantakan, kedua pintu lemari terbuka dengan pakaian bertebaran di mana-mana. Ranjang dan lantai kamar dipenuhi kapuk  dari kasur dan bantal yang telah digunting-gunting, ia mendapati sarilah di antara tumpukan baju bersandar di sudut ranjang dalam posisi duduk mencium popok dan jarik bekas bedong anaknya dengan tatapan kosong. “Bapak! Menea pak!” teriak Bi Sruwet pada suaminya dengan suara bergetar. mang Duliman yang menyaksikan pemandangan itu langsung terduduk di bibir pintu kamar anaknya.

    Selang beberapa saat Agus pulang membawa rasa bersalah, begitu membuka pintu ia kebingungan melihat bi Sruwet menangis tergugu sambil memeluk lutut mang Duliman yang duduk di tengah pintu kamar  dengan tangisan yang sama. “ Mak, Pak!” panggil Agus pada mertuanya dengan pelan dan rasa cemas dan penasaran. Mendengar suara Suaminya, Sarilah langsung menjerit, melempar segala benda di hadapannya kemudian tertawa terbahak-bahak. Di luar, kilat dan petir yang sejak Isa membelah langit masih terdengar memekikan telinga, hujan pun turun begitu deras membanjiri tanah aroma ampo menguap ke seluruh penjuru kampung.

    Catatan :

    1. Singa depok “Kesenian khas indramayu” sejenis sisingaan dari subang.
    2. Nok adalah panggilan untuk anak perempuan
    3. Nang adalah panggilan untuk anak laki-laki
    4. Mang panggilan untuk laki-laki dewasa
    5. Bi panggilan untuk perempuan dewasa
    6. Pribasane pentil asem di sambeli, sira dadi anak wis karuan ngaluk, ngelunjak ; ungkapan ini termasuk dalam wangsalan, suatu seni berbahasa yang biasa digunakan oleh masyarakat indramayu.
    7. Ampo adalah Tanah liat

     

    Kreator : Uus Hasanah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Tertawan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021