“Otak manusia tidak selalu berpikir logis—kadang ia hanya mengikuti reaksi kimia dalam tubuhnya sendiri.”
Kita sering mendengar kalimat seperti ini: “Ayo bertobat, kita kan sudah tua, sebentar lagi mati.” Atau versi lainnya: “Sudah waktunya kita lebih rajin ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan.” Sekilas terdengar seperti nasihat bijak, tapi kalau kita telisik lebih dalam, ada sesuatu yang menarik di balik fenomena ini. Mengapa orang baru merasa harus lebih religius ketika usia bertambah? Apakah benar ini soal kesadaran spiritual, atau ada sesuatu yang lebih saintifik yang terjadi di otak manusia?
Dalam kajian ilmu saraf dan endokrinologi, fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah, lebih spesifik lagi melalui peran hormon testosteron dalam tubuh manusia.
Turunnya Testosteron, Berubahnya Cara Pandang Hidup
Testosteron adalah hormon yang banyak berperan dalam membentuk karakter manusia. Pada pria, hormon ini berkaitan erat dengan dorongan untuk berkompetisi, agresivitas, dan semangat mengejar sesuatu, termasuk ambisi duniawi. Pada wanita, meskipun jumlahnya lebih sedikit, testosteron juga berkontribusi dalam aspek energi dan motivasi. Namun, yang menarik adalah seiring bertambahnya usia, kadar testosteron dalam tubuh manusia mengalami penurunan secara alami. Dan inilah yang secara tidak langsung mengubah cara kita melihat hidup.
Saat kadar testosteron tinggi, kita cenderung berpikir bahwa hidup ini penuh tantangan yang harus ditaklukkan. Uang, jabatan, pencapaian, dan berbagai target duniawi menjadi fokus utama. Namun, ketika kadar testosteron menurun, perlahan-lahan dorongan untuk bersaing dan mengejar duniawi melemah. Otak mulai mencari bentuk kepuasan lain yang lebih mudah diakses—dan di sinilah peran spiritualitas mulai masuk.
Kenapa Orang Tua Lebih Religius?
Penurunan testosteron menyebabkan cara kerja otak mengalami pergeseran. Manusia menjadi lebih reflektif, lebih tenang, dan lebih mudah menerima konsep tentang ketenangan batin, termasuk dalam hal keyakinan dan kehidupan setelah mati. Inilah sebabnya kenapa banyak orang ketika tua tiba-tiba merasa perlu lebih dekat dengan Tuhan. Bukan karena mereka mendadak tercerahkan, tapi karena otaknya bekerja dengan cara yang berbeda dari saat mereka masih muda.
Jadi, ketika ada orang berkata, “Bertobatlah karena kita sudah tua,” itu bukan sekadar panggilan spiritual, tapi juga reaksi biologis yang terjadi dalam tubuh mereka sendiri. Otak mereka mulai menerima gagasan tentang kematian lebih serius karena kadar hormon yang membuat mereka ambisius dan penuh semangat juang sudah berkurang.
Tobat Sejati atau Efek Biologi?
Lantas, apakah ini berarti pertobatan di usia tua adalah sesuatu yang tidak murni? Tidak juga. Tetapi, memahami bahwa ada aspek biologis yang turut berperan dalam perubahan cara berpikir kita dapat membantu kita memahami diri sendiri lebih baik.
Kalau benar-benar ingin ‘bertobat’ atau menjalani hidup dengan nilai-nilai yang lebih baik, kenapa harus menunggu kadar testosteron menurun? Kenapa harus menunggu tua dan dekat dengan kematian baru merasa perlu berbuat baik? Kalau memang kita percaya bahwa kehidupan ini lebih dari sekadar materi, bukankah seharusnya kita menyadarinya sejak muda?
“Jangan biarkan kadar testosteron menentukan kapan kamu sadar pentingnya hidup yang lebih bermakna. Kalau memang hidup harus lebih baik, kenapa harus nunggu tua?”
Kreator : Kadek Suprapto
Comment Closed: Testosteron, Usia, dan Ilusi Tobat di Hari Tua
Sorry, comment are closed for this post.