KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dragana

    Dragana

    BY 21 Agu 2024 Dilihat: 17 kali
    Dragana_alineaku

    Summary: Wajah anak itu berpendar, garis biru yang menandakan dia berdarah penyihir, darah pemberontak. Darah yang harus diburu dan dibantai. Keturunan yang tidak diperbolehkan ada pada kerajaan saat itu.

    Moira. Seorang gadis yang memiliki mata biru Zircon, memiliki guratan biru pada pipinya seperti cakar naga, tanda bahwa dia berasal dari kaum penyihir. Rambutnya hitam legam, poni dibelah menyamping. Unik, sebab penyihir pada umumnya berambut merah. Memiliki sihir dari keturunan asal, yaitu kaum naga. Sosoknya merupakan ancaman bagi kerajaan.

     

    Chapter 2: Sang Takdir

    Sang raja menggeram, kepalan tangannya menghantam meja.

    “Mereka sudah pergi, katamu!? Tidak ada satupun ada yang selamat dari para tentara kerajaan yang kukirim!?”

    “Benar, baginda. Kami mendapat laporan dari bala bantuan tentara kerajaan yang baru saja balik dari lokasi kejadian. Rumah mereka juga hancur porak poranda. Suatu hal yang mustahil untuk dilakukan oleh manusia biasa.”

    “Pasti ada campur tangan sihir.” Penasihat kerajaan berjalan maju, berkata tegas.

    Raja mendengus geram. “Hancurkan saja batu yang mereka gunakan. Mereka tidak akan dapat berkutik.”

    “Mengenai itu…”

    Penasihat kerajaan mendelik kepada sang pelapor.

    “Salah seorang rekan yang sekarat menjelaskan kejadiannya. Batu sang penyihir itu sudah dihancurkan, tetapi tetap bisa menggunakan sihir. Seperti memiliki kekuatan magis yang tidak biasa.”

    Raja dan sang penasihat saling tatap dengan ekspresi ngeri. Pikiran raja langsung melayang ke arah tulisan yang ditorehkan pada batu marmer beberapa pekan lalu.

    “Sepertinya…”, lanjut sang pelapor, “…mereka bukan penyihir biasa…”

    “Tidak akan kubiarkan mereka hilang begitu saja.” Kepalan tangannya bergetar, darah segar mengalir dari kukunya yang menancap pada kulit telapak tangan. Giginya menggertak, tampang bengisnya membuat sang pelapor kejadian gemetar.

    Celestio melirik ke belakang, dia melihat seseorang berjalan mendekati mereka. Sesaat bayangan itu menghilang. Celestio yang tengah menggendong adiknya mendelik kepada sosok yang menghilang tersebut. Kakinya menginjak ranting dan dia melihat ke bawah. Hari sudah malam. Moira belum sadarkan diri. Dia berhasil membawa adiknya melewati hutan belantara. Kini mereka berada di penghujung hutan. Melewati sungai yang mengalir deras. Nafasnya tersengal, merasa lega bahwa dia telah melewati hutan lebat. Menghembuskan nafasnya sebelum menurunkan Moira dari gendongannya. Dia meletakkan Moira pada rumput dan menyandarkan Moira pada seonggok kayu pohon besar yang tergeletak di tanah. Moira bergumam dan mengernyitkan dahi.

    “Moira! Kau sudah sadar?” Celestio berlutut di dekat sang adik, mengawasinya.

    “Kakak…?” Dia mengerjap dan melihat sekelilingnya.

    “Kita sedang menuju Kota Viscia. Kita akan aman di sana. Untuk sekarang, kau harus mengisi perutmu. Minumlah dulu.” Celestio meraih botol minum yang disangkutkan pada ikat pinggangnya. Dia menjulurkan botol minum yang sudah dibukanya. Moira meraih botol minum itu dan meneguknya sampai habis. Celestio menatapnya lega.

    “Istirahatlah. Aku akan menyalakan api. Kita akan berkemah di sini malam ini.”

    Moira mengangguk singkat. Celestio menatap adiknya cemas. Dia belum mengucapkan sepatah kata pun selain sebutan ‘kakak’.

    “Aku akan ambil air sebentar.” Celestio menunjuk ke arah sungai terdekat yang jaraknya hanya beberapa meter dari mereka. Dia tidak mungkin meninggalkan Moira sendirian. Celestio terperanjat ketika dia membalikkan badan dan kilatan cahaya menyembur di tengah kegelapan. Celestio bersiap menyerang siapa pun yang mengganggu mereka. Matanya melihat Moira yang tengah membakar api dari seonggok kayu pohon yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya duduk. Celestio menghela napas. Dia mengusap jantungnya yang berdebar kencang.

    “Lain kali katakan dulu apa yang hendak kau lakukan, Moira. Kau membuatku kaget.” Celestio tertawa. Tawa bercampur rasa cemas. Pemuda itu menggeleng kepala, kemudian bergegas turun mendekati sungai untuk mengisi dua botol minum.

    Celestio kembali dan memastikan Moira dalam keadaan sadar. “Kau mengantuk? Tubuhmu tidak apa-apa setelah menggunakan sihir yang begitu dahsyat?”

    “Aku baik-baik saja.” Moira menyahut. Mata birunya bertemu dengan Celestio. Dia menunjukkan sihir api yang menyala pada telapak tangannya.

    “Baiklah, kalau begitu, aku akan mencari sesuatu untuk dimakan. Kau jaga diri disini.” Celestio mengambil batu sihir dan menyarungkan pedangnya. Dia beranjak pergi meninggalkan Moira sebelum ingat sesuatu. “Buatlah semacam pelindung sihir agar tidak ada yang mendekatimu.” Celestio menyuruhnya.

    Moira mengangguk. Dia berdiri dan menggumam sesuatu. Sejenak tampak lapisan pelindung yang seperti kaca mengelilingi mereka kemudian menghilang.

    “Bagus. Aku tidak akan lama.” Celestio tersenyum sambil menepuk kepala adiknya. Dia keluar menembus pelindung dan menghilang.

    Setelah makan kenyang daging ikan dan singa, Moira terlelap. Celestio berjaga-jaga. Dia menancapkan pedangnya ke tanah, menatap lekat api unggun di hadapannya.

    “Apa maumu?” Tanyanya di tengah-tengah kesunyian malam.

    Sesosok yang diduga pria perlahan-lahan mendekat. Tudungnya masih menutupi wajah. Pria itu membuka mulutnya, namun yang keluar hanyalah desis seperti ular. Celestio menyadari bahwa pria itulah yang membuntuti mereka di penghujung hutan tadi. Telinganya sayup-sayup menangkap ucapan seperti “daging penyihir”.

    Celestio berdiri, siap menyerang. Mata orang itu semerah darah. Tepat sebelum dia sempat menyerang Celestio, tubuhnya ditikam anak panah yang melesat ke arahnya. Anak panah sihir itu menghilang bersamaan dengan hancurnya tubuh pria itu berkeping-keping bagaikan debu. Celestio terperanjat. Dia berkedip menatap dan sadar bahwa Moira baru saja menyerang pria itu.

    “Moira…”

    “Desisnya tidak menyenangkan.” Moira menyahut pendek.

    “Entah makhluk apa itu, tapi yang pasti kita tidak boleh lengah.” Celestio terdiam mengingat kata-kata ayahnya.

    Mata biru Moira berpendar saat melihat ke atas. Di tengah-tengah hutan, berbagai makhluk tidak dikenal merajai hutan tersebut.

    “Kita akan tiba di Kota Viscia beberapa puluh meter lagi dari sini.” Celestio menjelaskan. Dia menatap adiknya yang tidak banyak bicara. “Moira… Kau baik-baik saja?”

    Moira mengangguk singkat. Gadis kecil itu tampak lebih diam dari biasanya. Suatu hal yang normal. Moira baru saja menyaksikan kedua orangtuanya terbunuh di hadapannya. Yang ditakutkan Celestio bukan terpuruknya sang adik, namun terguncangnya mental Moira. Tatapannya menjadi lebih tajam dan dingin. Tidak hanya itu, gadis kecil yang jauh lebih muda darinya baru saja membunuh suatu makhluk hingga berkeping-keping dan menjadi debu. Celestio merinding. Adiknya yang ceria sudah hilang. Mungkin akan terus seperti ini selamanya.

    Kabut menutup lembah. Kedua saudara tersebut menuruni hutan yang curam. Celestio memicingkan matanya, berusaha melihat di tengah kabut. Mereka sudah berjalan sejak matahari mulai muncul. Kondisi tidak dapat dipastikan sebagai siang hari. Di sekeliling mereka begitu buram dan mencekam. Di tengah lelah dan lapar, Celestio menggendong adiknya, nafas memburu, bersikeras untuk terus melangkah. Tidak menghiraukan rasa ngeri untuk menapak di jalan yang terjal.

    Suara langkah kaki membuat Celestio berhenti sesaat. “Moira, turun sejenak. Bersiaplah untuk bertempur.”

    Moira melayang turun dari gendongan kakaknya. Dia menatap tajam sosok dewasa yang berjalan ke arah mereka. Sosok itu tiba-tiba menarik pedangnya. Celestio langsung menangkis serangan pria itu. Kabut semakin menipis. Celestio mulai melihat jelas bahwa dirinya berhadapan dengan pria berambut panjang berwarna perak. Telinganya runcing seperti bangsa Elf.

    “Siapa kau!?” Teriak Celestio, tubuhnya melindungi Moira agar tetap berada di belakangnya.

    “Tidak penting aku siapa sebab kau akan mati!” Dia menghunuskan pedangnya ke arah Celestio. Pedang itu menghujam perisai transparan seperti kaca. Perisai tersebut retak dan hancur berkeping-keping. Pria itu menajamkan matanya, mengetahui adanya campur tangan sihir.

    “Kau…” Pria bertubuh tegap itu menggeram. “Seharusnya aku tahu bahwa manusia biasa tidak akan dapat mencapai daerah ini. Siapa kau?”

    Celestio tidak menjawab, pria di hadapannya tidak perlu tahu bahwa dia baru saja menghancurkan perisai sihir Moira. Moira berjalan mendekat. Mata birunya berkilau. Semburat tanda biru seperti goresan muncul di pipinya. Dia tidak berkata apapun, tapi tangannya terjulur, siap menyerang.

    Pria itu terkesiap melihat sosok Moira. Guratan pada wajah Moira dan warna biru yang khas membuatnya sadar siapa yang ada di hadapannya. “Sang takdir!” Dia kemudian berlutut dan menyentuh tangan Moira.

    Moira mengerjap kaget, bingung saat sikap pria itu berubah drastis. Api yang hendak dikeluarkannya dipadamkan.

    Celestio melempar pandangan bingung, dia menurunkan pedangnya. “Apa kau mengenal Moira?” Dia menatap pria itu sambil mengangkat alis.

    “Tentu saja. Sang takdir sudah tiba di kotanya sendiri. Kita akan selamat.” Dia mengecup telapak tangan Moira. Eblem sihir berwarna biru muncul sesaat dan menghilang.

    Kabut mulai menghilang. Celestio menyadari bahwa mereka telah dikerumuni oleh bangsa Elf. Salah satu dari mereka menatap Celestio dan tersenyum.

    “Kami bangsa naga. Bukan Elf.” Gadis itu angkat bicara.

    Celestio terperanjat ketika pikirannya terbaca. “Maaf, aku tidak sopan.” Pipinya memerah dan gadis itu tersenyum.

    Pria berambut perak itu berdiri tegak dan merentangkan tangannya. “Selamat datang di Kota Viscia. Tempat dimana sihir awal lahir. Ini adalah gerbang terdepan kota.” Dia berhenti sejenak dan menatap Moira. “Selamat datang kembali.” Katanya dengan lembut. “Maafkan atas kelancanganku.” Kemudian dia melambai pada pemuda yang berdiri tidak jauh dari gerbang. “Vernio! Tolong bantu mereka menuju gerbang inti.”

    Pemuda berambut biru itu membungkuk. Tingginya setara dengan Celestio.

    Celestio menghela nafas lega. “Akhirnya… Kita sampai di Viscia…” Dia merangkul Moira dari belakang. Sesaat pandangannya buram karena air mata. “Ayah… Ibu… Kita sudah sampai. Moira akan aman di sini.”

    Kelompok yang menamai diri mereka bangsa naga tersebut tersenyum haru.

    Vernio melambaikan tangan kepada rekannya di depan gerbang yang berseberangan dengannya. “Hei, Belio! Pinjam kendaraannya! Aku harus mengantar mereka!” Vernio berseru kepada rekannya. Pria itu mirip dengan Vernio.

    “Kembar?” Celestio bertanya.

    Vernio terkekeh. “Bisa dibilang begitu.” Belio dan Vernio menepuk kedua tangan mereka di udara.

    Belio menaruh kedua jari di depan mulutnya, meniup udara. Gelembung seperti sabun keluar dari mulutnya. kemudian berkembang semakin besar dan memisahkan diri. Gelembung tersebut mendarat di rumput. Sisi depannya membentuk kursi. Bagian dalamnya terdapat tempat yang bisa dimasuki sebanyak dua orang. Kendaraan tersebut seperti gelembung sabun, namun keras seperti kaca. Moira mengetuk permukaan gelembung tersebut dan terkejut ketika pintunya terangkat membuka. Belio terkekeh.

    “Nah, ini kendaraannya. Kita akan naik ini sampai ke gerbang inti.” Vernio mengangguk puas menatap kendaraan tersebut.

    “Silahkan digunakan. Tipnya bisa diantarkan kapan saja.” Belio membantu Moira untuk naik ke dalam.

    “Tip? Ah, aku punya beberapa silver-” Celestio berhenti bicara ketika Belio menaruh telunjuk tangannya di depan mulut Celestio.

    “Di sini kita tidak menggunakan perak maupun emas. Tetapi buah sihir.”

    “Huh?” Celestio bingung.

    Vernio tertawa. “Nanti kau akan terbiasa. Untuk saat ini tidak usah pikirkan dulu. Ayo kita berangkat.”

    Celestio buru-buru masuk ke dalam dan Vernio menutup pintu kendaraan tersebut. Dia kemudian naik di depan, mengucap mantra dan mulai menghidupi kendaraan itu. Gelembung tersebut terangkat dan mereka melaju dengan cepat. Belio melambaikan tangannya. Di belakang mereka terlihat pria berambut perak itu membungkuk dan gerbang pun tertutup.

    “Apakah mereka tinggal di daerah sini?” Celestio menyadari beberapa pemukiman yang mirip seperti rumahnya.

    “Benar, kami berjaga di gerbang agar orang yang bukan bangsa kami tidak masuk seenaknya. Kita prajurit garda terdepan kota Viscia, secara turun temurun menjaga gerbang itu. Itu sudah menjadi tugas kami.” Vernio memperlihatkan emblem berwarna biru. Berbeda dengan prajurit kerajaan yang dikenal menggunakan warna hijau, bangsa naga dan penyihir lekat dengan warna biru. Celestio tidak pernah mengetahui asal-usul warna tersebut, namun mungkin dia akan mengetahui lebih dalam mengenai hal itu di kota ini.

    “Siapa pria berambut perak di gerbang depan tadi?” Moira bertanya.

    “Theodorus? Dia berpangkat paling tinggi yang ditugaskan menjaga gerbang bulan ini. Kau beruntung dia mengenalimu, Moira.”

    “Kalian tahu Moira?” Celestio bertanya.

    Vernio hanya tersenyum. “Sang takdir sudah tiba.”

    Kata-kata itu terulang kembali. Celestio ingin bertanya lebih lanjut namun seruan Vernio menghentikan niatnya.

    “Kita sudah sampai!” Vernio menunjuk ke arah gerbang kedua Kota Viscia.

    Pada gerbang tersebut terdapat ornamen naga kembar yang menjaga kota tersebut. Keduanya turun di depan gerbang. Di kejauhan tampak sebuah menara tinggi yang berselubung kabut. Moira menatap menara tersebut, mata birunya berpendar. Vernio menyadarinya namun dia tidak mengatakan apa pun.

    “Selamat datang di Kota Viscia.” Vernio membungkuk kepada dua saudara itu. “Sang Takdir sudah tiba bersama saudaranya. Anak dari Etusha dan Asuza. Kami sudah menunggu kedatangan kalian.” Sejenak matanya pun berpendar keemasan. Dia tersenyum ramah.

    Gerbang Viscia terbuka lebar.

    To Be Continue…

     

     

    Kreator : Alvaster

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dragana

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021