KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung di Benteng Otanaha Bab 6

    Mendung di Benteng Otanaha Bab 6

    BY 05 Sep 2024 Dilihat: 14 kali
    SEBUAH TAWARAN_alineaku

    SEBUAH TAWARAN

    Inayah memeriksa berkas yang akan dibawa ke ruang rapat. Setelah memastikan semuanya dengan baik, jilbaber itu meninggalkan kubikelnya dan menyusuri koridor yang mengarah ke ruang pertemuan. Langkah kakinya terayun anggun.

    Diruangan itu telah banyak duduk semua petugas kepolisian dari berbagai divisi. Inayah meletakkan berkas itu satu persatu diatas meja panelis lalu melangkah menuju bagian belakang dan duduk di salah satu kursi yang kosong disana.

    Tak lama kemudian, Irjenpol Trias Eliasha Ali muncul diapit oleh Ajun Komisaris Saptahadi Balu, S.IK dan Iptu Herdiansyah, S.IK yang merupakan tamatan Akpol tahun kemarin. Mereka bertiga duduk di kursi panelis dan memulai rapat saat itu.

    Selama kegiatan itu berlangsung, tak sedikitpun Inayah fokus pada jalannya pertemuan, melainkan tenggelam dalam dunia khayaliah mengenang Azkiya yang begitu terharu atas hadiah hidangan dari ibunya.

    Inayah tersentak ketika merasai telapak tangan menampar lembut pipinya berkali-kali. Jilbaber itu gelagapan menatap penam-parnya. Trias berdiri bercakak pinggang lalu mendecak beberapa kali.

    “Kelihatannya, kamu nggak konsen, Bripka Inayah Amalia.” komentar Kapolda Gorontalo itu dengan datar dan dingin.

    “A-ap-app-pa?” tanya  Inayah dengan gagap. Sementara peserta rapat semuanya tersenyum, lainnya menahan tawa.

    “Ikut ke ruangan saya!” kata Trias dengan datar dan beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Wajahnya kelihatan membesi.

    Dengan wajah merah menahan malu, jilbaber berpangkat Bripka itu bangkit melangkah mengikuti pimpinan tertinggi lembaga kepolisian daerah itu ke ruangannya. Pastinya, hukuman bakal menimpa bagi bawahan yang terkesan tak serius dalam tugasnya.

    * * *

     

    Riman dan Ardhie menatap kagum terhadap bangunan itu. sejenak Ardhie mengucek-ngucek matanya sambil menarik-narik celana-nya sampai ke atas perut lalu menatap sahabatnya.

    “Nggak salah nih?” tukasnya dengan lirih.

    “Benar… ini alamatnya…” ujar Riman dengan ragu. “Sandiaga nggak mungkin ngejahili kita…”

    Tak lama kemudian terdengar derum mesin kendaraan men-dekat. Kedua pemuda itu menatap ke jalan. Sandiaga mengendarai Honda CB19-V5, yang kemudian berhenti di depan gerbang.

    “Kamu dari mana saja?” tanya Ardhie.

    “Dari rumahku…” jawab Sandiaga sambil turun dari ken-daraannya dan berdiri santai bersandar pada tangki sepeda motor canggih tersebut.

    “Terus ini rumah siapa?” tanya Ardhie.

    “Kamu nggak salah kasih alamat, kan?” tukas Riman lagi.

    Sandiaga hanya mendecak kesal lalu melangkah dan membuka gerbang. Pemuda itu masuk diikuti oleh dua sahabatnya. Dengan santai Sandiaga menjelajahi taman kediaman tersebut lalu menyusuri jalanan kecil di bagian taman.

    Jalanan itu begitu panjang, hingga akhirnya mereka tiba di hamparan perkebunan paling luas. Nampak para penggarap sedang asyik memeriksa tanaman disana, dan seorang lelaki berpakaian seperti mandor sedang mengawasi para pekerja tersebut.

    “Wah, banyak orang ya?” komentar Ardhie dengan kagum.

    “Ya, tentu dong!” sahut Riman, “Kalau sepi, kuburan namanya!” ujarnya dengan ketus.

    “Tunggu disini…” ujar Sandiaga kemudian masuk ke perkebunan dan bertemu dengan mandor itu. Mereka bercakap-cakap sebentar diawasi oleh Riman dan Ardhie yang menunggu disisi ladang lalu Sandiaga kembali ke jalan setapak yang dijejaki oleh kedua temannya.

    “Ayo masuk…” ajaknya.

    “Itu mandor yang mau menerima kita?” tebak Ardhie.

    “Ya, memang siapa lagi?” sahut Sandiaga.

    “Kelihatannya galak, ya?” komentar Ardhie.

    “Kenapa?” tanya Riman.

    “Wajahnya saja lebar…” komentar Ardhie lalu tertawa.

    Sandiaga kembali mendecak kesal dan menyuruh keduanya masuk. Riman dan Ardhie berjalan mengikuti Sandiaga. Sambil me-nyusuri perkebunan, Sandiaga terus memberikan wejangan.

    “Kalau mau bekerja disini, harus tenang… sopan…” ujar Sandiaga. Ardhie seketika mendengus kesal.

    “Memangnya kita mau ke pasar?!” ujarnya dengan ketus. “Ya pastinya memang harus sopan, gimana sih?”

    “Saya bilangin ya? Kalau kerja disini… harus sopan. Itu, mandor-nya kalau sudah marah… duh! Hidungnya bolong!” ujar Sandiaga dengan wajah serius. Sejenak Ardhie berhenti, lalu melangkah lagi. 

    “Eh, ini lagi serius, San…” tegurnya.

    “Iya, memangnya saya bercanda?” tukas Sandiaga mengerutkan alisnya dan memelototi sahabatnya yang berkumis kaiserbat itu.

    “Berarti, mandor itu kalau marah… begitu ya?” komentar Riman dengan wajah kuatir.

    “Sampai bolong hidungnya…” sambung Sandiaga.

    “Kalau begitu, kau saja yang kerja…” ujar Ardhie tiba-tiba kepada Riman. Lelaki itu terkejut lalu menatap Ardhie.

    “Kenapa?” tanya Riman.

    “Ngapain dapat kerjaan yang nantinya hidung malah pada bolong?! Ngapain?!” seru Ardhie dengan ketus.

    “Iya… hidungnya, bolong…” ujar Sandiaga menunjuk lubang hidungnya. “Iya, kan? Hidungnya bolong, kan?” sambungnya membuat Ardhie mendengus.

    “Berarti kamu juga sama, Dhie! Hidungmu bolong.” sahut Riman mengamini ucapan Sandiaga.

    “Ya, kalau nggak bolong…. Memangnya aku bernafas lewat mata? Enak saja!” omel Ardhie dengan ketus.

    “Aku nggak salah bicara, kan?” tukas Sandiaga berlagak ketus. Ardhie menghela napas melepaskan kekesalannya karena selalu kena rundungan verbal.

    “Siapa tahu kita nanti kerjanya enak…” ujar Riman membujuk Ardhie. Sandiaga ikut mengangguk meyakinkan temannya.

    “Nasib kan ditangan Allah…” sambung Riman lagi. “Siapa tahu nanti aku jadi juru terbang?” ujarnya sambil menunjuk beberapa petani yang menerapkan teknik chemtrail. Nampak sebuah drone melayang mondar-mandir sembari menyemprotkan cairan herbisida.

    “Enak jadi juru terbang, Dhie…” sahut Sandiaga memotivasi Ardhie agar semangat.

    “Bagaimana kalau melihat ke bawah, San?” pancing Riman.

    “Kalau melihat kebawah… itu kelihatan semut-semut pada kecil semua lho…” ungkap Sandiaga dengan wajah serius.

    “Saking tingginya ya?” cetus Ardhie dengan kagum. Sandiaga dan Riman langsung mengangguk namun menahan tawa. Ardhie menghela napas sejenak lalu berujar. 

    “Memang begitu dong, saking tingginya terbang, semut semuanya kelihatan kecil…” ujarnya namun dengan nada pasrah, mengakui ketidakmampuan pengetahuannya. Ardhie lalu menatap Sandiaga dan menyembur dengan jengkel. 

    “Kamu kapan melihat semut yang ukurannya besar, San?!” ujarnya dengan ketus. Sandiaga hanya tertawa melihat kejengkelan temannya. Ardhie memang paling gampang dirundungi sebab pe-ngetahuannya pas-pasan dibandingkan Riman.

    “Lho? Memang aku salah bicara?” tangkis Sandiaga me-ngembangkan tangan sambil terkekeh. Ketiganya terus menyusuri perkebunan itu dengan langkah pelan. Ardhie lalu menguak. 

    “Isi otak kalian selalu yang bikin sakit hatiku…” keluhnya.

    “Kamu juga pasti jadi juru, Dhie…” ujar Riman berupaya menyemangati kawannya. Pekerjaan menjadi seorang ahli selain mem-butuhkan pengakuan diatas kertas, juga membutuhkan pengalaman kerja yang tidak singkat.

    “Sudah diam!” sela Ardhie dengan ketus. “Aku sudah tahu!”

    “Kamu pasti bisa jadi juru…” ujar Sandiaga.

    “Alaaah… paling-paling aku… nggak ada kemajuan…” tukas Ardhie sedikit pesimis. “Jadi juru kunci, deh…”

    “Lho? Enak jadi juru kunci…” ujar Sandiaga yang tak paham terminologi jenis pekerjaan yang diungkapkan Ardhie.

    “Mendingan aku malak orang di pasar, daripada disuruh jadi juru kunci…” tandas Ardhie mengungkapkan kejengkelannya.

    “Kenapa?” tanya Sandiaga.

    “Eh, kerjaannya… nggak siang, nggak malam…” ujar Ardhie. “Ke kuburan saja…”

    Sandiaga tertawa pelan, menyadari arti kata dari pekerjaan itu. Pemuda itu menghembuskan napasnya. Dia kembali berlagak memberi wejangan seperti seorang jenderal mengarahkan pasukannya. Penyakit post power sindromnya semasa menjabat sebagai Ketua OSIS di SMUN 1 Kota Gorontalo, kambuh lagi.

    “Nanti kalau mau ketemu mandor itu, kamu berdua jalan selangkah-selangkah…” ujar Sandiaga memperingati. Ardhie men-dengus kesal lagi. Riman menatapnya. 

    “Kenapa, Dhie?” tanya lelaki itu.

    “Aku bukannya bekerja, malah baku hantam nih…” omel Ardhie dengan geram menatap Sandiaga dengan kesal. 

    “Kamu kenapa lagi? Kan yang dibilang Sandiaga memang benar. Kalau melangkah ya, harus selangkah-selangkah.” kata Riman memberi-kan penjelasan. “Memang kamu mau loncat-loncatan macam pocong?”

    “Kamu kalau mau benjol, ayo langkahi sama-sama!” ujar Ardhie setengah menantang karena tersinggung dikatai pocongan oleh Riman.

    Sandiaga kemudian berhenti. “Nah, sekarang kalian berdua kesana…” perintahnya.

    “Nah, kamu?” tukas Ardhie.

    “Ya, aku menunggu disini?!” ujar Sandiaga.

    “Lho? Kok nggak ikut?” protes Ardhie.

    “Lho? Yang mau cari kerja siapa?” tukas Sandiaga dengan ketus lalu kembali menyuruh Riman dan Ardhie pergi menemui mandor tersebut.

    “Kamu duluan, Man…” ujar Ardhie.

    Akhirnya Riman berjalan mendahului Ardhie, menemui mandor tersebut. Lelaki itu menyapa dengan santun. Sang mandor berbalik lalu menatap Riman.

    “Ada apa, nak?” tanya mandor itu dengan suara datar.

    “Ini, saya mau kerja, Pak…” jawab Riman dengan santun.

    “Oh, kamu mau kerja?” tanya mandor itu lagi.

    “Iya, pak…” jawab Riman lalu mulai berlagak menangis sehingga menerbitkan rasa haru mandor tersebut.

    Riman terus menceritakan kisah hidupnya yang memilukan. Mandor itu menjadi trenyuh hatinya. Sementara Sandiaga dari jauh memperhatikan kedua sahabatnya berupaya mengambil hati lelaki itu. Senyum licik sejenak terulas dari bibirnya.

    “Aduh kasihan…” ujar mandor itu terharu. “Siapa namamu, nak?” tanya lelaki itu.

    “Saya Riman, Pak…” jawab Riman memperkenalkan dirinya.

    “Kalau begitu, saya terima kamu kerja disini….” ujar mandor tersebut. Dengan gembira, Riman menyambut keputusan lelaki itu.

    “Terima kasih, Pak…” ujar Riman, lalu kembali mendapati Ardhie yang gugup.

    “Aku diterima, Dhie…” ujar Riman dengan gembira. “Sekarang giliranmu…”

    Ardhie dengan penuh pengharapan, melangkah mendekati mandor tersebut. Sandiaga kini memberikan isyarat lain kepada mandor tersebut. Tiba-tiba sang mandor itu menyergah.

    “Ada apa?!” sergahnya.

    “Eh, ada apaan ya?” sahut Ardhie yang kaget jadi tergagap.

    Mandor itu kemudian memelototinya dengan garang. Ardhie dengan santun mulai berujar.

    “Permisi…” ujar Ardhie dengan santun.

    “Permisi apa?!” sergah mandor itu lagi. 

    Ardhie kembali bungkam. Mandor itu menyergah lagi, “Mau apa kamu?!”

    “Ini, mau kerja…” ujar Ardhie dengan gugup.

    “Kerja apa?!” sergah mandor itu lagi.

    “Eh, anak saya tikus, eeeeehhhh…” jawab Ardhie yang gugup menjadi latah. Sementara Sandiaga yang menonton dari jauh sakit perut terpingkal-pingkal. Ardhie mundur kembali menemui Riman. Lelaki itu menegur temannya. 

    “Kamunya yang salah…” tegur Riman sambil berbisik.

    “Kalau kamu didengarin, kalau aku disentak! Apaan?!” protes Ardhie dengan lirih.

    “Kamu yang tenang dong.” tegur Riman lagi lalu menyuruh Ardhie untuk menemui mandor itu lagi. Dengan perasaan gundah, Ardhie kembali melangkah menemui mandor tersebut.

    “Mau apa?!” sergah mandor itu lagi.

    Ardhie yang disentak, kehilangan kemampuan bicara dan malah tersenyum cengengesan, membuat mandor itu semakin memasang tampak galaknya, seakan mau menerkam.

    “Mau apa?!” sergah mandor itu lagi.

    Ardhie kembali hanya tertawa cengengesan. Mandor itu mulai muntab. 

    “Eh, mau apa kemari?! Mau apa?!” sergah mandor itu lagi. Sambil cengengesan bercampur tangis, Ardhie menjawab. 

    “Mau kerja Pak…” jawabnya mulai menangis.

    “Kerja apa?!” sergah mandor itu lagi.

    “Mau kerja…” jawab Ardhie yang mulai mewek-mewek disebabkan oleh kegugupannya sekali-sekali lelaki berkumis kaiserbart itu menatap Riman, minta dibela. Tapi Riman hanya diam memperhati-kan sahabatnya dirundung sang mandor.

    “Kerja apa?!” sergah mandor itu lagi.

    Sambil mewek, Ardhie mengeluh. “Heran aku sih…”

    “Heran kenapa?!” sergah mandor itu lagi.

    “Modelnya, membentak melulu…” keluh Ardhie ditengah mewek gugupnya. Mandor itu sejenak mendengus lalu menarik napas, setelah mendapatkan isyarat tak kentara dari Sandiaga.

    “Mau apa kesini? Mau apa?!” Mandor itu akhirnya melunakkan intonasi sergahannya.

    “Mau kerja, pak…” jawab Ardhie lagi masih mewek.

    “Kerja apa?!” sergah mandor itu lagi.

    “Berhubung saya nggak punya kerja…” jawab Ardhie lagi.

    “Mau kerja apa?” sergah mandor itu lagi.

    “Anak saya sampai di sumur, eeeehhhhh…” jawab Ardhie yang tiba-tiba jadi latah lagi. Lelaki itu meninggalkan mandor tersebut sambil mengomel.

    “Ngomong itu yang enak, Dhie… bicara itu pakai mulut.” tegur Riman membuat Ardhie terdiam dan menghela napas lagi.

    “Dari kesal, sampai mikir lagi…” gerutunya lalu menatap Riman. “Yang bicara pakai mato lo tutubu (lubang pantat) itu siapa?!” omelnya.

    Riman kembali memberi nasihat dan menyuruh lagi Ardhie meng-hadapi mandor itu. Dengan sangat terpaksa, Ardhie kembali menemui mandor itu. 

    “Mau apa kamu? Ayo mau apa?” tanya mandor itu dengan datar. Ardhie menenangkan hatinya.

    “Begini Pak…” ujar Ardhie.

    “Begini apa?” cecar mandor itu lagi.

    “Maksud saya…” ujar Ardhie.

    “Maksud situ apa?!” sela mandor itu mencecar.

    “Ya, anda punya maksud, nggak?” ujar Ardhie yang gugup kembali latah.

    “Lho? Kok?” sergah mandor itu lalu memanggil Riman untuk mendekat. Ketika lelaki itu tiba, si mandor langsung menyergah. 

    “Ini temanmu, mau kerja apa nggak?!” omelnya dengan ketus sambil menuding-nuding Ardhie.

    “Dia nggak bisa disergah, pak…” jawab Riman memperingatkan mandor itu dengan lembut. Lelaki itu lalu menatap sahabatnya. 

    “Makanya kalau ngomong itu yang enak…” tegurnya.

    “Sabaaaar… hati…” keluh Ardhie menggumam. Lelaki itu kembali menatap si mandor itu.

    “Rupanya begitu?” gumam mandor itu lagi.

    “Ya, pak.” ujar Ardhie dengan santun.

    “Mau apa?” tanya mandor itu dengan datar.

    “Ya, begitu juga, ehhh…” latah Ardhie balik lagi.

    “Bagaimana?!” cecar mandor itu.

    “Begini pak…” ujar Ardhie.

    “Begini apa?!” cecar mandor itu lagi.

    “Saya datang kemari dengan teman saya..” jawab Ardhie hendak menjelaskan.

    “Untuk apa?!” cecar mandor itu lagi.

    “Ya, terserah bapak…” jawab Ardhie dengan santun. “Berhubung saya itu punya anak…”

    “Anak apa?!” sergah mandor itu lagi.

    “Anak-anakan, ehhhhh…” sifat latah Ardhie kambuh lagi. Dengan kesal dia berbalik pergi sambil mengomel.

    “Payah kalau bicara sama muka lebar! Susah!” gerutunya. Mandor itu langsung muntab mendengarnya. Ditudingnya Ardhie. 

    “Eh, kurang ajar kau ya?!” semburnya. Riman langsung buru-buru menengahi pertengkaran tersebut. Lelaki itu semenjak masa sekolah memang terkenal pandai berdiplomasi. 

    “Tenang Pak…” bujuknya kepada mandor tersebut lalu menatap Ardhie. “Teman saya ini nggak bisa disentak seperti itu…”

    Mandor itu menatap Ardhie. “Jadi kalian berdua itu mau kerja disini?!” sergahnya.

    “Iya, pak…” jawab Ardhie dibarengi anggukan kepala oleh Riman. Sejenak mandor itu menatap Sandiaga yang memberi isyarat dari kejauhan. Lelaki itu lalu menarik napas dan mengangguk.

    “Baik… kalau begitu, kalian berdua diterima bekerja disini.” ujar mandor tersebut.

    “Aduh terima kasih pak…” seru Ardhie diikuti Riman yang membungkuk santun, tak menyangka mendapatkan keajaiban.

    “Kalian boleh bekerja sekarang…” ujar mandor itu lagi.

    Sandiaga mengangguk dan dianggukkan pula oleh mandor. Kedua sahabatnya kini sudah tak menganggur lagi. Pemuda berbalik pergi meninggalkan perkebunan tersebut dengan langkah santai dan me-lenggang ringan. 

    Langkah kaki pemuda itu berhenti didepan halaman rumah. Nampak disana sedang duduk dengan santainya, seorang wanita parobaya, menikmati secangkir kopi. Ketika melihat Sandiaga, wanita itu melambaikan tangannya.

    Sandiaga melangkah mendekati rumah besar tersebut dan menaiki undakan tangga. Setelah berada dihadapan wanita itu, Sandiaga mencium tangannya.

    “Bagaimana? Apa temanmu diterima si Karman itu?” pancing Saripah mengangkat alisnya. Sandiaga duduk sejenak di kursi, depan wanita itu. pemuda itu lalu mengangguk. Saripah tersenyum lalu memicingkan mata. 

    “Tapi kok, Umma lihat dari jendela… si Karman itu marah-marahi teman kamu?” tukasnya. Sandiaga tertawa sejenak lalu menjawab. 

    “Sengaja, Umma. Saya yang nyuruh Oom Karman buat ngejahilin salah satunya… kebetulan, si Ardhie yang kena apesnya…” ujarnya lalu tertawa.

    Saripah kembali tersenyum dan geleng-geleng kepala. “Kamu itu ya? Mirip benar dengan Abahmu…” wanita itu lalu mendesah sejenak. “Sudah mau nikah, masih juga begajulan…”

    Sandiaga langsung menegakkan tubuhnya. “Tunggu sebentar, Umma…” sela pemuda itu lalu sejenak menatapi wanita itu. “Umma bilang tadi, nikah… siapa yang mau nikah?” pancing pemuda tersebut.

    “Lho? Memangnya mama sama papamu belum ngasih tahu?” tukas Saripah lalu tersenyum.

    “Wah, waaahhhh….” gumam Sandiaga. “Umma sama Abah mulai main konspirasi dengan Mama dan Papa, ya?” tukasnya. “Kok saya yang mau nikah, malah nggak tahu?”

    Saripah tertawa pelan. “Nanti bilang sama Papa dan Mama kamu, besok sore, datang kesini…” ujar wanita itu. Sandiaga mengangguk lalu celigukan ke arah jendela, seakan-akan mencari seseorang. Saripah tersenyum lalu menghela napas.

    “Iyun masuk kerja hari ini, sampai besok…” ujar Saripah. Sandiaga hanya tersenyum canggung lalu mengangguk. 

    “Kalau begitu, saya pulang sekarang ya, Umma… mau ngabarin Papa sama Mama tentang permintaan Umma tadi…” ujar pemuda tersebut.

    Saripah mengangguk-angguk pelan. Sandiaga bangkit lalu pamit setelah sebelumnya mencium tangan wanita itu. Saripah menatap punggung pemuda itu hingga akhirnya ia berlalu meninggalkan gerbang kediamannya.[]

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung di Benteng Otanaha Bab 6

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021