KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » 4 Dasar Penting Membangun Hubungan dengan Pelanggan yang Sering Terlupakan

    4 Dasar Penting Membangun Hubungan dengan Pelanggan yang Sering Terlupakan

    BY 21 Agu 2024 Dilihat: 151 kali
    4 Dasar Penting Membangun Hubungan dengan Pelanggan yang Sering Terlupakan_alineaku

    Di sekitar pertengahan tahun 2009, aku mulai mendapat kesempatan untuk menjadi seorang manajer penjualan (sales) di satu departemen di perusahaan tempat aku bekerja. Sebagai manajer, membawahi tujuh orang tenaga penjual (salesman), aku bertugas memimpin jalannya departemen demi mencapai target penjualan yang ditentukan perusahaan. Ketujuh orang salesman yang “diserahkan” kepadaku semuanya orang lama. Dua orang senior, dengan pengalaman lebih dari delapan tahun; sisanya, lima orang junior dengan pengalaman bervariasi antara satu sampai dengan tiga tahun.

    Kinerja departemen kami di tahun-tahun itu stabil, meski dengan sedikit fluktuasi di sana-sini, namun di akhir tahun kami selalu mencapai target; bahkan melampaui. Hanya saja, kupikir akan lebih menarik lagi kalau kami bisa mengalami pertumbuhan pelanggan baru yang lebih banyak. Kinerja kami yang stabil itu memang hampir seluruhnya merupakan kontribusi dari pelanggan tetap perusahaan. Kontribusi dari pelanggan baru hanya sekitar satu dari sepuluh transaksi, yang artinya jumlah pelanggan baru kami sangat sedikit.

    Sebelum libur penutupan akhir tahun, aku mengadakan rapat kecil dengan tim untuk menganalisa apa yang terjadi dan bagaimana kami akan menjalani tahun depan.  “Hari, kau yang paling senior di tim, apa pendapatmu tentang tahun ini?”, tanyaku saat membuka rapat. “Bagus, Bos!”, jawab Hari, “secara keseluruhan aku bisa mempertahankan langgananku. Kau tahu sendiri, Bos, saingan kita semakin banyak. Mereka tidak bisa melawan kita maka mengincar klien-klien lain yang belum menjadi langganan kita.”, lanjutnya singkat.

    “Apa kau punya data seberapa banyak klien lain yang belum membeli dari kita?”, tanyaku lagi. “Ya, lumayan lah. Tapi jangan kuatir, Bos. Mereka hanya pemain kecil dan tidak membeli dalam jumlah yang banyak seperti langganan kita.”, jawabnya lagi. Aku kurang puas dengan jawaban Hari. “Mengapa mereka tidak mau membeli dari kita saja? Toh, harga kita masih lebih murah, kita pemimpin pasar, dan bisa memberikan syarat pembayaran fleksibel?”, kejarku kepadanya. Lantas Hari menjawab lagi, “Mereka tidak mau bicara kepadaku, Bos. Sudah kucoba melalui email, pesan teks, telepon langsung, bahkan kudatangi ke kantornya. Aku kesulitan untuk bertemu mereka.” Jawaban yang serupa juga kudapatkan dari anggota tim yang lain, sedikit banyak memberikan gambaran actual akan tantangan yang sedang mereka hadapi di lapangan.

    Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Hal-hal semacam ini memang kualami sendiri di awal-awal karirku. Seingatku, sebagai seorang introvert yang nyata-nyata tidak terlahir alami sebagai seorang salesman, berkenalan dengan orang baru dan membangun hubungan pertemanan memang terasa sangat menyiksa. Beragam penolakan sudah sering ku lalui, cukup untuk membuatku putus asa dan tidak ingin melanjutkan karir sebagai salesman.

    Aku cukup beruntung lalu tidak sengaja bertemu dengan seorang salesman senior asal Australia, Mr. Mark Johnson, langsung di awal karirku. Sebagai perwakilan dan insinyur dari pabrik, ia ditugaskan untuk menemaniku seminggu dalam setiap beberapa bulan dalam berdiskusi dan menjelaskan produk dengan lebih detail kepada pelanggan. Mark seorang periang, usianya saat itu sekitar paruh baya. Perawakannya seperti orang Indonesia rata-rata, tidak terlalu tinggi dan sedikit gempal, rambut dan kumis tebalnya yang keabu-abuan menunjukkan usianya.

    Nasihatnya kali saat kami berjumpa paling kuingat. “Kau tahu David, pada dasarnya otak manusia terdiri atas otak emosional dan otak rasional. Perbedaannya adalah dalam hal menciptakan respon.”, ujarnya memulai ceramah. “Otak emosional terbentuk sejak jutaan tahun lalu, mulanya otak ini hanya menciptakan naluri (insting) dasar. Misalnya pada kasus hewan yang sedang menghadapi predator, dalam sepersekian detik nalurinya akan memerintahkan untuk lari atau melawan. Tapi otak emosional ini, yang semula merupakan otak primitif, kemudian mampu berkembang menciptakan emosi yang lebih kompleks, seperti rasa marah, takut, benci, suka, nafsu, dan lain-lain. Sedangkan otak rasional baru terbentuk kurang lebih puluhan ribu tahun lalu. Otak rasional yang ini lebih aktif, menganalisa, mempelajari, dan mampu memperkirakan konsekuensi atas berbagai tindakan yang dilakukan.”

    Lanjutnya lagi, “Proses pengambilan keputusan akan berjalan dengan optimal saat otak rasional dan otak emosional mampu bekerjasama. Kebalikannya, bila otak emosional dan otak rasional saling berlawanan, biasanya otak emosional yang akan menang. Kau harus mengerti bahwa konsekuensi dari setiap tindakan yang kita lakukan dalam proses menjual kepada pihak lain bukanlah main-main. Dari berbagai tindakan itu, hal yang pertama dilakukan pastilah menjalin hubungan terlebih dulu. Apakah calon pembeli akan suka atau tidak dengan si penjual, inilah poin paling mendasar yang akan membentuk bagaimana proses menjual kita bisa diterima dan proses pengambilan keputusan si pembeli akan berjalan.”

    Aku tidak terlalu paham apa yang dikatakan Mark saat itu. Aku hanya mengangguk-angguk sambil berusaha mengingatnya hingga beberapa tahun kemudian. Setelah sering kali bertemu dengan orang-orang baru, aku mulai mengerti arah dari ceramahnya. Tindakan menjalin hubungan dengan calon pembeli harus memperhatikan prinsip-prinsip penting: orang akan mau berkomunikasi dengan orang yang disukainya, dengan sukarela berbagi informasi dengan orang yang disukai, membeli dari orang yang disukai, loyal kepada orang yang disukai, dan akan mau mereferensikan orang yang disukai.

    “Kawan-kawan, kurasa kalian melupakan sesuatu yang paling dasar. Sebelum melangkah ke strategi yang lebih jauh, mari kita coba mengingat kembali hal-hal yang aku yakin kalian sudah paham sebenarnya.”, kataku sambil melanjutkan rapat dengan anggota timku, “untuk berhasil menjalin hubungan dengan calon pembeli baru ada empat prinsip paling mendasar yang harus kita pahami; empati, otentik atau apa adanya, kemiripan, dan sama-sama merasakan atau mengalami.”

    “Aku baru pertama kali mendengar soal ini, Bos. Tolong bisa dijelaskan lebih lanjut. Maksudku, tentu aku tahu istilah-istilah semacam itu, tapi apa hubungannya dengan dunia sales? Kok, sepertinya rumit sekali, kita kan hanya mau berjualan tapi seolah-olah seperti mau jadi psikolog saja?”, timpal Sony, anak buahku yang paling junior. Sony pernah bekerja di kantor lain selama setahun sebelum pindah ke kantorku sekarang. Tapi ia tidak pernah diberikan training atau pelatihan sebelumnya.

    “OK Son, memang sudah benar kalau kau berupaya untuk lebih mendekatkan diri secara berkala dengan pelanggan-pelangganmu, seperti acara makan siang, ngopi-ngopi, dan sebagainya. Keakraban kalian pasti akan meningkat. Tapi, ada kemungkinan itu saja sudah tidak cukup sekarang ini. Untuk menjelaskan poin pertamaku tentang empati, sekarang coba jawab pertanyaanku, apa yang paling menyenangkan bagi manusia, selain makanan dan uang?”, jawabku lagi.

    Seisi ruangan terdiam selama beberapa saat. Anak buahku terlihat berpikir keras memikirkan jawabannya. Untuk mempersingkat waktu aku segera memecah kesunyian, “Jawabannya adalah membicarakan diri sendiri! Kalian bisa merasakan sendiri kalau bisa membicarakan tentang diri kalian sendiri rasanya sangat bergairah, puas! Jadi sangat wajar kalau orang-orang cenderung terpancing untuk menceritakan atau membicarakan tentang diri mereka sendiri. Nah, kalau sudah begitu, kalian lalu berempatilah terhadap mereka dengan cara menunjukkan kalau kalian memang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.”

    Secara tidak sengaja aku memahami dari beberapa kali interaksiku dengan orang yang baru kukenal, ketika aku bisa memancing mereka untuk bercerita tentang diri mereka sendiri, aku lebih mudah diterima. Dan ketika lawan bicaraku sepertinya tahu kalau aku benar-benar mendengarkan kisah mereka dengan perhatian, mereka cenderung mudah suka denganku.

    “Begitu maksudku tentang prinsip pertama tadi, Son, empati.”, kulanjutkan lagi ceramahku ke anggota tim, “empati adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan dengan orang lain. Jadi, kalau kalian mau memulai memahami orang lain caranya adalah coba arahkan orang-orang untuk bercerita tentang diri mereka sendiri, setelah itu tunjukkan kalau kalian juga mendengarkan dengan perhatian.”

    Anak buahku tampak manggut-manggut. “Kulanjutkan, ya,” ujarku, “prinsip kedua, tampil apa adanya, tulus, dan jadilah diri sendiri. Sebagian besar orang tentunya lebih suka dengan orang yang bisa mendengarkan dengan tulus, meski ada juga sebagian yang suka diangkat-angkat. Tidak perlu mencari jauh-jauh. Kita sendiri, cepat atau lambat, bisa mendeteksi orang-orang yang meski baru pertama kali bertemu tapi tampilannya palsu atau manipulatif.”

    Manusia akan cenderung suka dengan manusia lain yang otentik. Dari riset-riset psikologi yang pernah kubaca, kesimpulannya sama, seseorang akan lebih mudah masuk ke dalam pergaulan atau suatu kelompok ketika tampil apa adanya.

    “Dan satu hal, kawan-kawan, cobalah tersenyum sedikit lebih lama, kepribadian kalian akan terasa lebih otentik.”, aku masih melanjutkan kuliahku lagi yang baru mencapai setengah babak, “meski tidak perlu juga sampai berlebihan. Basa-basi yang berlebihan dan sok akrab atau sok dekat akan terlihat seperti dipaksakan atau dibuat-buat. Begitu, kalian malah akan gagal!”

    Anggota tim ku masih menunjukkan respon dengan manggut-manggut. Ada yang memperhatikanku sambil melipat tangan sebelah, sementara satu tangannya lagi mengelus dagu. Ada juga yang melipat kedua tangan tapi keningnya berkerut-kerut seolah berpikir keras. Aku tersenyum kecil melihat reaksi mereka, seolah terjebak di antara rasa percaya dan tidak. Aku paham, sampai di tahap ini semuanya tampak sederhana. Dan kenyataannya, memang sederhana.

    Hanya saja, dari yang pernah kuamati, banyak salesman yang mengabaikan atau melupakan prinsip dasar dan hal sepele seperti ini. Mereka semua biasanya tancap gas langsung saat pertama kali berkenalan dengan calon pembeli baru dan kebanyakan langsung mencoba “menyajikan hidangan utama” dengan membicarakan produk atau jasa yang mereka jual.

    Lagi-lagi aku terpaksa mencoba memecah kesunyian. Tapi, di dalam hati, aku yakin sebetulnya anak buahku mengerti maksudku. Hanya selama ini, mungkin, belum pernah ada seseorang yang mengingatkan mereka soal hal yang terkesan cukup remeh seperti ini.

    “Nah, kedua prinsip dasar tadi hanya pemanasan, bukaku lagi setelah sedikit meneguk kopi hitam pahit yang kupegang dari tadi, “sekarang kita masuk ke dua prinsip sisanya.” Sambil mengedipkan mata kiriku untuk memperingatkan, “Meski demikian justru prinsip-prinsip sisa ini mengharuskan kalian berpikir lebih ketimbang dua yang pertama tadi.” Hari, sebagai yang paling senior, mungkin merasa mewakili koleganya, langsung merespon, “Siap, Ndan. Lanjut!”

    Aku menarik napas panjang, “Prinsip dasar ketiga adalah cari kemiripan-kemiripan dengan lawan bicara. Orang cenderung suka dengan orang lain yang sifatnya sama atau mirip seperti mereka. Semakin kalian mirip dengan seseorang yang kalian ajak berkenalan, semakin besar peluang kalian untuk membangun hubungan yang lebih akrab dan saling suka.”

    Ada studi dan riset psikologis yang menunjukkan banyak orang yang suka dengan merek produk atau jasa yang mirip atau sama dengan nama mereka sendiri. Malah, ada yang cukup inisialnya saja yang sama. Manusia akan lebih suka dengan manusia lain yang bahasa tubuhnya sama.

    “Apa ini maksudnya?”, aku langsung menambahkan sebelum ada yang menyela bertanya, “carilah minat atau latar belakang yang sama dengan orang yang baru kalian ajak berkenalan. Apa pun boleh kalian coba, genre film kesukaan, misalnya; buku, olahraga, aktifitas, punya anak yang seumuran, hobi, dan seterusnya. Aku yakin kalian pasti pernah merasakan nge-klik dengan seseorang hanya gara-gara punya satu kesamaan. Ini salah satu kunci dalam menjalin dan mengakrabkan relasi.”

    Uraianku perkara kemiripan ini masih belum selesai, “Cara lain untuk mencari kemiripan adalah dengan meniru perilaku lawan bicara kalian. Istilah populernya dalam Bahasa Inggris, mungkin kalian sering dengar, mirroring. Jadi seandainya si calon pembeli berbicara dengan pelan, kalian coba ikut berbicara dengan pelan juga. Atau, kalau ekspresi mereka serius saat berbicara, kalian jangan malah cengengesan. Kalau mereka duduk agak tegap, kalian jangan duduk santai sambil bersandar. Dan seterusnya.”, tutup mengakhiri uraian atas prinsip dasar ketiga.

    Kukira anggota timku cukup paham atau sedang mencerna uraianku soal prinsip dasar ketiga ini. Dalam kesempatan lain, di mana aku kembali menyampaikan materi tentang prinsip-prinsip dasar dalam menjalin hubungan kepada audiens yang berbeda, ada seorang peserta yang lebih kritis dan mempertanyakan apakah ia harus mengubah kepribadiannya menjadi kepribadian lawan bicaranya. Perlu kuluruskan maksudku di sini bukanlah untuk meniru seluruhnya atau menjiplak, bahkan mengubah jati diri kita. Maksudku adalah saat kita berinteraksi, lakukanlah dengan cara yang lawan bicara kita sukai. Berinteraksilah seperti cara mereka dan kita akan membangun koneksi dan hubungan dengan orang lain dengan cara yang lebih baik.

    Aku merasa seperti sudah berbicara selama empat jam. Tapi kulihat anak buahku sepertinya masih menyimak kuliahku dengan serius, plus dengan tatapan tajam ke arahku. Saat melihat ke arlojiku, baru sekitar 30 menitan saja rupanya yang kuhabiskan untuk berceramah dari tadi. Pantas saja mereka belum bosan, meski aku mulai merasa haus sekali. Ku Teguk habis saja kopiku untuk menambah sedikit energi sebelum istirahat makan siang.

    “OK, ini yang terakhir dan sekaligus yang tingkat kesulitannya paling rumit.”, ujarku sambil mengerenyitkan dahi karena tidak sengaja terseruput bubuk kopi saat tegukan penghabisan, “paling rumit dalam arti diperlukan usaha lebih yang melibatkan kemauan dari pihak lain. Coba ajak calon pembeli kalian terlibat dalam suatu kerjasama supaya muncul perasaan kekompakan. Kalian mungkin ingat istilah perpeloncoan di permulaan tahun ajaran baru di sekolah atau di kampus dulu. Praktik perpeloncoan memang sudah dilarang sekarang (dan saya sama sekali TIDAK MENGANJURKAN ATAU MENYARANKAN untuk diadakan lagi*). Tapi di satu sisi, karena kita sama-sama mengalami stress akibat siksaan senior atau panitia, kita merasa lebih mudah kenal dan lebih mudah akrab dengan teman yang padahal baru dikenal. Akibatnya, satu angkatan menjadi kompak seluruhnya.”

    Ada penelitian psikologi yang sudah sangat lama, dilakukan pada masa sekitar Perang Dunia II yang meneliti dua kelompok ibu-ibu rumah tangga. Kelompok pertama hanya diberikan ceramah edukasi mengenai pentingnya dan manfaat-manfaat dari mengkonsumsi jeroan. Di dalam ceramahnya, para pembicara mencoba memainkan unsur-unsur psikologi, seperti menekankan keadaan sosial pada masa itu dan membangkitkan rasa patriotisme dalam diri ibu-ibu tersebut demi membujuk mereka. Misalnya, dengan jargon, “Kalian akan membantu negara untuk memenangkan perang!” Dalam ceramah itu diselipkan juga sesi testimoni oleh pembicara-pembicara lain untuk memberi kesaksian bahwa mereka sangat suka makan jeroan, sekaligus membagikan resep-resep kepada para ibu rumah tangga untuk diolah di rumah.

    Sedangkan kelompok ibu-ibu rumah tangga yang kedua hanya diikutsertakan dalam diskusi-diskusi yang terarah. Para fasilitator diskusi bertanya kepada para ibu tersebut bagaimana caranya supaya mereka juga bisa mengajak ibu-ibu lainnya agar mau menyajikan masakan jeroan kepada keluarga masing-masing di rumah. Ibu-ibu dalam kelompok kedua ini berdiskusi, aktif dalam role-playing, dan menyuarakan pendapat-pendapat mereka.

    Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan sekitar sepertiga dari kelompok ibu rumah tangga yang kedua terus melanjutkan menyajikan jeroan kepada keluarga mereka di rumah. Sedangkan, dari kelompok ibu yang pertama, hanya sekitar 3% yang melakukannya. Bayangkan, di kelompok kedua ada 33 dari 100 orang yang mau melanjutkan; dibandingkan dengan 3 dari 100 orang di kelompok pertama. Hasil yang sangat bertolak belakang!

    Kasus ini kubagikan ke anggota tim sebagai penutup kuliahku sore itu. Aku sudah berbicara searah selama kurang lebih 40 menitan dan, mengingat hari itu sudah menjelang libur akhir tahun, aku juga tidak ingin terlalu membebani timku dengan ide-ide berat. Aku berharap mereka bisa memulai awal tahun berikutnya dengan lebih “segar” dan penuh gairah untuk segera menjajal ide-ide baru tersebut.

    Sejujurnya, saat itu aku juga tidak tahu apa anggota timku benar-benar memahami ceritaku atau mereka sekedar meng-iya-iyakan. Tentu aku hanya bisa tahu setelah berjalannya waktu, dan ini akan kutuliskan di lain kesempatan. Yang pasti, Hari, Sonny, dan anggota tim lainnya hanya mengangguk-angguk tanda setuju dan seolah-olah bisa memahami.

    “Ketika orang hanya diajak berbicara (terlebih lagi hanya searah, seperti dalam kasus ceramah atau kuliah) akan kurang merasakan ikatan atau koneksi dengan si pembicara. Tapi, ketika orang-orang terlibat dalam suatu proses dan secara aktif berinteraksi maka akan terbentuk ikatan atau perasaan suka yang lebih kuat terhadap orang-orang yang berinteraksi dengan mereka. Di saat yang sama, memungkinkan untuk tercipta rasa kepemilikan secara psikologis atas apa pun yang dikerjakan bersama.

    Dari kisah penelitian ini, kalau kalian mau menjual, coba ciptakan suatu kondisi di mana si calon pembeli bisa sama-sama merasakan. Kalian coba untuk berkolaborasi dengan calon pembeli. Maksudnya, bagaimana? Misalnya, bisa dimulai dari mendefinisikan masalah yang ada melalui kata-kata si pembeli sendiri.”, demikian penutupan ku yang lumayan panjang.

    Sambil berceramah, aku juga sempat menuliskan beberapa poin penting di papan tulis kantor sebagai catatan kecil. Berikut kutulis ulang saja di sini, mungkin bisa sebagai gambaran bagi pembaca.

    1. Rancang pemecahan atau jawaban atau solusi atas permasalahan yang dihadapi, coba bertukar pikiran, dan kreasikan nilai tambah bersama-sama dengan calon pembeli.
    2. Rancang strategi untuk mempresentasikan solusi kepada dewan direksi atau juga tim-tim lain yang mungkin terkait dari pihak calon pembeli.
    3. Berkolaborasi dalam mencapai kesepakatan.

    Dari pengalamanku, ketika aku melakukan hal-hal seperti ini; biasanya, selain lebih suka denganku, para pelangganku juga cenderung segera mengambil tindakan atas hal-hal apa saja yang aku ingin mereka lakukan.

    Menjalin keakraban atau kedekatan adalah dasar dari membangun hubungan dengan orang lain. Sepanjang perjalanan karirku, aku bisa melihat tenaga-tenaga penjual, para profesional, atau para pemimpin yang sangat sukses biasanya mempunyai kemampuan membangun hubungan yang hebat.

     

     

    Kreator : David Kusumawijaya

    Bagikan ke

    Comment Closed: 4 Dasar Penting Membangun Hubungan dengan Pelanggan yang Sering Terlupakan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021