Di sebuah co-working space trendy yang ramai. Laila sedang sibuk dengan ponselnya, menggulir feed sosmed sambil tersenyum puas. Seraya berbisik pada diri sendiri sambil menatap layar ponsel dengan puas,”Wah, 10.000 like dalam satu jam! Aku memang berbakat bikin orang kepo.” Ia tersenyum kecil, seolah menyadari bahwa setiap “like” itu adalah validasi kecil yang memenuhi naluri manusianya untuk diterima dan diakui.
Siapa sangka, algoritma bisa menjadi semacam dewa modern yang menentukan nasib popularitas seseorang. Namun, di balik kepuasan itu, Laila tak bisa menahan tawa kecil. Ironis, pikirnya, bagaimana orang bisa terpaku pada ilusi digital yang ia ciptakan, padahal di dunia nyata, ia bahkan belum sempat merapikan tempat tidurnya hari ini.
Sungguh, di zaman ini, bakat sejati mungkin bukan lagi soal menciptakan karya besar, melainkan membuat orang asing rela menghabiskan waktu berharga mereka untuk mengklik dua kali pada foto sarapan yang sempurna—walau sebenarnya itu cuma sekedar repost dari bulan lalu.
Reza, sahabatnya, duduk di seberang Laila, sambil menyeruput kopinya dengan santai,”Jadi, berapa banyak orang yang sudah kau bikin depresi hari ini?” Ia bertanya sambil tersenyum lebar, seolah-olah sedang menanyakan hal paling normal di dunia. Matanya berkilat nakal, tahu betul bahwa pertanyaannya akan membuat Laila berpikir sejenak. Reza selalu punya cara untuk menyelipkan komentar yang tajam dengan candaan yang ringan, seolah mengukur berapa banyak “korban” yang jatuh akibat kehidupan digital Laila yang tampak sempurna. Baginya, ini bukan tentang menghakimi, melainkan lebih seperti menghitung poin dalam permainan yang tak ada akhirnya—permainan di mana foto brunch dan selfie sempurna menjadi alat ukur kebahagiaan orang lain. Reza menikmati momen itu, menunggu reaksi Laila, yang tentu saja, akan menambah poin di sisi hiburan sore ini.
“Hah? Maksud kamu?” Laila terkejut, lalu tertawa.
“Kamu tahu, kan? Setiap foto sempurnamu itu, bisa bikin orang-orang di luar sana merasa hidup mereka nggak ada artinya,”jelas Reza.
Sambil tertawa keras, Laila membalas,”Oh, ayolah, Reza. Jangan dramatis gitu deh! Itu kan cuma sosmed. Semua orang juga tahu, kalau hidup nyata mah lebih mirip laundry kotor daripada filter Instagram. Semua orang tahu kalau hidup nyata nggak sesempurna itu, Za.”
Reza menatap serius Laila dengan tajam,”Tapi, nggak semua orang bisa bedain, Laila. Contohnya kamu sendiri. Kamu mulai kehilangan batas antara kenyataan dan dunia maya.” Reza menggelengkan pelan kepalanya, seolah sedang mengamati sebuah eksperimen sains yang baru saja gagal. “Hari ini kamu mungkin masih bisa bedain mana kopi asli dan mana yang cuma boomerang, tapi kalau terus begini, jangan-jangan sebentar lagi kamu bakal mulai nanya ke Google Maps buat cari lokasi dapurmu sendiri.” Reza melanjutkan, dengan suara yang penuh dengan keprihatinan terselip rapi di balik senyuman, Reza berkata,”Serius deh, Laila, kadang aku heran, kamu ini lagi nge-post status, atau justru statusmu yang nge-post kamu? Kayaknya algoritma udah jadi teman kencan barumu, dan yang lebih parah lagi, dia nggak pernah ngajak kamu kencan keluar. Hati-hati, Laila, dunia maya itu seperti penyelaman tanpa tabung oksigen—nggak ada pintu keluar darurat di sana!”
Laila tersenyum sinis,”Kamu ngomong seolah-olah aku ini jahat banget. Aku cuma berbagi kebahagiaan, Reza. Aku ini inspirasi buat mereka, tahu?!”
Reza menggelengkan kepala, dengan nada sinis,”Inspirasi untuk apa, Laila? Untuk bikin orang-orang merasa kurang dari diri mereka sendiri? Atau biar mereka terjebak dalam siklus overthinking yang tiada akhir? Jangan-jangan kamu sendiri nggak sadar, ya, kalau kamu sudah jadi korban dari sosmed yang selama ini kamu puja-puja itu. Dalam usahamu untuk jadi beacon inspirasi digital, tanpa sadar kamu malah ikut terseret dalam permainan yang kamu ciptakan. Kamu mempersembahkan ‘kebahagiaan’ yang direka untuk menyenangkan orang lain, padahal tanpa disadari, kamu sudah terperangkap dalam ilusi yang sama, dibungkus kepalsuan yang kau sebarkan. Ketika kamu terus-menerus berbagi gambaran hidup yang ideal, kamu malah membuat diri kamu sendiri terjepit di dalamnya—jadi labirin digital tanpa jalan keluar, La.”
Laila mengelak,”Kamu serius, nih? Jadi menurutmu, aku ini… apa? Monster digital?”
Sambil tertawa kecil dengan nada penuh sindiran, Reza menjawab,”Nggak, Laila, kamu nggak bisa dibilang monster. Kamu lebih mirip… hmm… zombie digital. Terlihat hidup dan mungkin tampak sangat bersemangat di feed Instagram-mu, tapi sebenarnya, kamu dikendalikan sepenuhnya oleh algoritma. Ibaratnya, kamu berjalan dengan tatapan kosong, memposting foto-foto yang ‘menunjukkan’ betapa kerennya hidupmu, padahal semua itu hanya hasil dari program yang bikin kamu terus-menerus scroll dan klik. Bukannya menggerakkan tanganmu sendiri, kamu malah dikuasai oleh kode-kode yang merancang hari-harimu. Jadi, sambil kamu berpikir kamu sedang ‘menghidupkan’ feed-mu dengan konten yang memikat, sebenarnya kamu cuma menjalani rutinitas yang memang sudah diprogram untuk membuatmu terus-menerus terjebak dalam ilusi digital ini. Nah, gak ada bedanya kan kamu dengan zombie?”
Laila melirik Reza dengan kesal,”Jadi kamu bilang, aku ini nggak punya kontrol atas hidupku sendiri gitu?”
Tampak serius, dengan ekspresi penuh drama Reza tegas berkata,”Kalau kamu lebih peduli sama apa yang orang lain pikirkan tentang postinganmu daripada perasaanmu sendiri, mungkin iya, kamu sudah mencapai level baru dalam permainan sosmed. Maksudku, kalau kamu sampai berdebat dengan temanmu tentang caption yang tepat untuk foto makananmu sementara perutmu sendiri sudah protes teriak-teriak lapar, itu artinya kamu memang sudah terjun bebas ke dalam dunia digital. Bayangkan, kamu bangun pagi, bukan untuk merasakan sinar matahari, tapi untuk mengecek notifikasi. Aku yakin, kalau ada kompetisi ‘Orang Terpaling Obsesi dengan Like’, kamu udah juara dunia tanpa perlu ikut audisi!”
Tak lama Laila menghela napas,”Oke, mungkin aku memang terlalu terikat sama sosmed. Tapi aku bisa berhenti kapan aja aku mau kok!”
“Buktikan!” Reza dengan segera menyambar ucapannya seraya menyipitkan mata,”Coba detoks digital seminggu. Nggak ada posting, nggak ada scrolling. Bakal sanggup gak kamu?”
Sambil membelalak, Laila merespon,”Seminggu?! Kamu gila?”
Reza tersenyum dengan penuh kepuasan sambil menjawab,”Lihat, Laila, bahkan baru ide detoks digital segitu saja udah bikin kamu panik. Rasanya seperti kalau kamu disuruh berhenti makan coklat pas lagi patah hati—aku yakin, nggak ada yang lebih menyakitkan daripada itu. Kamu tau, detoks digital itu bisa jadi lebih menantang daripada misi penyelamatan dunia dari alien. Bayangkan, kalau kamu sampai terpaksa ‘istirahat’ dari sosial media, mungkin kamu bakal merasa seperti memutuskan hubungan dengan sahabat sejati yang selalu ada di saku, lengkap dengan notifikasi yang gak henti-hentinya. Jadi, jangan salahkan aku kalau kamu butuh waktu lebih lama untuk pulih dari ‘sindrom detoks’ ini. Kadang, perasaan kehilangan dari scrolling feed itu lebih pedih daripada kehilangan cinta pertama! Wkwkwkwkwkwk.”
Laila menghela napas dalam-dalam kemudian berkata,”Oke, oke. Mungkin aku memang butuh jeda. Tapi cuma tiga hari, ya!”
“Nah, akhirnya waras juga kamu!” Reza merespon positif seraya menepuk bahu Laila. Mulai dulu dari yang kecil. Tiga hari sudah lumayan.Nggak masalah.”
Di hari ketiga, Laila tengah terduduk lemas di area santai pusat kebugaran setelah sesi latihan, mencoba menenangkan diri sambil membicarakan tantangan detoks digital. Dari sofa tempat dia duduk, ponselnya diletakkan jauh dari jangkauan, wajahnya tampak cemas dan berjuang keras. Reza yang ambil peran sebagai terapis Laila selama detoks, duduk di seberang, menatapnya dengan campuran rasa simpatik sekaligus ingin bercanda.
Laila yang tampak frustasi,”Ini sulit banget, Reza. Aku nggak tahu harus ngapain. Setiap kali aku coba nggak buka ponsel, rasanya kayak ada yang menyengat di tangan. Kayak kosong gitu perasaan.”
Sambil tersenyum nakal, Reza berkomentar,”Oh, jadi kamu sekarang merasa seperti astronaut yang terdampar di ruang angkasa tanpa sinyal gitu? Kedengarannya berat ya, tapi ya namanya juga detoks. Bener kan? Rasanya kayak nyoba berhenti makan coklat pas lagi patah hati—rasanya memang mengerikan tapi ada yang bilang itu justru bikin kamu jadi lebih kuat.”
“Kuat disakiti?” Laila memotong.
“Yeah. Kamu yang menyakiti diri sendiri,”balas Reza tegas tak mau kalah nge-gas.
Laila yang tampak frustasi pun menghela napas,”Tapi ini benar-benar menantang, Reza. Aku bahkan sempat melihat ke arah ponselku berkali-kali, seakan-akan ada kekuatan gaib yang menarikku. Rasanya seperti ada magnet yang nggak bisa aku lihat, tapi selalu ada di sana, menarik tangan aku buat ngecek notifikasi atau lihat update terbaru. Aku udah coba banget untuk tidak tergoda, tapi setiap kali aku berpaling, ponsel itu seolah-olah nyedot perasaan aku, narik-narik aku gitu. Semakin aku berusaha menjauhi, semakin terasa seperti aku terjebak dalam jaring yang aku buat sendiri. Itu bukan cuma tentang kebiasaan, tapi udah jadi semacam dorongan otomatis yang susah banget aku kontrol.”
Reza dengan gaya tertawa kecilnya yang khas mengiringi candaannya,”Kekuatan gaib apaan? Itu ‘Magnet Sosial Media’, alat canggih yang dibuat untuk menghisap seluruh waktu dan energi manusia. Kamu tahu, kalau detoks ini sebetulnya pertandingan, dan hari ini kamu sudah berada di babak final— apa kamu juga butuh pelatih untuk membantu melewati masa kritis ini gitu? Aku harus dibayar mahal.”
Sambil tersenyum lelah Laila akhirnya mengakui,”Sepertinya kamu memang benar. Aku memang terlalu terikat pada ponselku. Kadang-kadang, aku merasa lebih hidup saat melihat notifikasi daripada saat berinteraksi dengan orang secara langsung.”
“Nah, itu dia!” Reza dengan ekspresi serius, tapi dengan senyuman penuh makna,”Laila, dengerin. Otak Master Psikolog ini mau ngomong. Ini saatnya kamu menyadari satu hal fundamental— sosial media ini sebenarnya hanyalah simulasi ilusi perseptual. Semacam efek placebo digital yang dirancang untuk menipu sistem kognitif kita dengan ilusi kepuasan instan. Kehidupan nyata, dengan segala cacat dan keunikannya, jauh lebih berharga daripada ‘like’ yang kamu terima di feed-mu. Kamu tengah terperangkap dalam fenomena kognitif yang dikenal sebagai ‘Kecanduan Penguatan Variabel,’ di mana otakmu mendapatkan dopamin setiap kali kamu mendapatkan notifikasi baru. Namun, yang lebih penting adalah proses rekonstruksi identitas diri di luar layar—sebuah perjalanan introspeksi yang melibatkan lebih dari sekadar meme dan filter. Hidup bukanlah tentang kuantitas like yang kamu dapatkan, melainkan tentang bagaimana kamu bisa mengoptimalkan kualitas pengalaman tanpa perlu mem-posting setiap detik dari keberadaanmu. Ingat terus ini Laila, momen yang paling berharga adalah kamu bisa menikmati setiap momen tanpa merasa harus membagikannya ke masyarakat luas.”
“Kamu benar, Reza. Mungkin sudah saatnya aku berhenti membiarkan ‘notifikasi’ ambil alih posisi CEO dalam hidupku. Aku harus belajar untuk menikmati momen-momen kecil tanpa perlu mengubahnya menjadi konten yang layak untuk diposting. Bayangkan saja, kalau setiap senyum bahagia harus melewati proses editing dan caption yang panjang dulu, kapan aku akan punya waktu untuk benar-benar menikmati waktu buatku sendiri? Sepertinya, aku harus mulai menjadwalkan waktu untuk ‘offline’ yang sama seriusnya dengan jadwal meeting—dan bukannya setiap kali keluar dari rumah, aku merasa seperti pergi tanpa ‘pemandu sorak’ digital. Mungkin kalau aku mulai hidup di luar layar, aku bisa menemukan keajaiban tanpa harus menunggu notifikasi ‘like’ terlebih dahulu!”
Reza yang tersenyum puas, mengangguk dengan penuh pemahaman,”Akhirnya! Laila, aku harus bilang, itu keputusan yang luar biasa. Bayangkan, hidupmu tanpa harus memposting setiap detik yang kamu alami—seperti merasakan rasa cokelat tanpa harus menghitung kalori. Ini sebenarnya tentang mengembalikan kontrol dan menikmati hidup itu sendiri, tanpa harus minta izin dari algoritma. Jangan khawatir, kamu tidak akan kehilangan perhatian atau keajaiban; sebaliknya, kamu mungkin menemukan hal-hal yang lebih berharga di dunia nyata. Dan yang paling penting, kamu tidak perlu lagi memikirkan caption yang sempurna setiap kali kamu mendapatkan momen indah. Tahu gak? Kadang, kebahagiaan yang paling murni adalah hal yang tidak perlu di-share ke seluruh dunia. Senyum Reza makin lebar,”Jadi, siap-siap aja, Laila. Dengan keputusan ini, kamu mungkin bakal mulai menemukan hal-hal yang benar-benar penting— rasanya seperti menikmati pizza tanpa harus foto-foto dulu. Dan ingat, kalau ada yang nanya kenapa kamu tampak lebih ceria, kamu bisa jawab aja,‘Oh, aku cuma berhenti memposting setiap gigitan pizza ke Instagram!’ Mungkin mereka bakal heran, tapi kamu tahu, kebahagiaan sederhana kadang justru lebih nikmat daripada filter terbaik sekalipun.”
Pesan Moral:
Kreator : Adwanthi
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Detox Digital
Sorry, comment are closed for this post.