Alur yang berada di hulu semangkin hitam dan mulai menyebar. Bluuus suara desiran keluar dari lapisan gambut . desiran itu tepat dua puluh meter di depan mereka. Sesuatu yang hitam mendesak keluar. Seperti air macur tinggi menjulang lebih dari setengan pohon. Semburan itu berlahan lahan terus meninggi beberapa saaat, lalu merendah. Tiba tba pepohonan di dekat semburan itu menyala. Ada sinar kemerahan dari batang batangnya. Warna kuning kemerahan itu menyambar daun dan ranting kering.
Seketika itu juga menyalalah api. Daun dan ranting tersebut dengan mudahnya terbakar api. “ Appiii” teriak Dhama yang tersentak dari rasa penasarannya tadi. Cahaya kuning kemerahan itu kini telah menjadi api yang panas bercampur asap hitam yang mulai menyebar. Semuanya melompat menjauh. Kami segera berlari menuju jalur yang dituju. Langkah kami kian dipercepat untuk mengimbangi gerakan api. Api itu yang kian mengejar. Ranting dan dedaunan yang sisa sisa imasan hutan muda itu membuat api semangkin cepat merambat dan meluas.
“Apakah masih jauh ke Camp centong dua ?” tanya Claudei yang mulai ketakutan. “Tidak, sekitar dua ratus meter lagi , ayo lah kita harus cepat “ beberapa kali Ramos dan Berdnat menolong Michel yang terjatuh. Kakinya sering mengijak lobang lobang akar yang kosong. Edi dan Lunang sudah berbagi beban bahan yang dibawa Herman, agar gerakan mereka lebih cepat “ Dee.. cepat “
“ Iya..” kami pun mulai menutup hidung karena asap yang mengandung karbon itu mulai menutupi wajah. Langkah asal asalan , yang penting cepat bergerak.
“Ayo kita sudah mau sampai “ teriak Dharma agar kami mempercepat lari. Didepan tampak sudah mulai terang. Jalur kami hanya di tandai beberapa panjang kayu yang tertanjap lurus. Sebuah pondok kecil ditengah area. Hutannya sudah di tumbang. Di kejauhan kelihatan ada beberapa orang yang sedang menyongsong kami. Dengan setengah berlari diatas batang kayu yang melintang. Dua orang sedang menyambut Herman. Lelaki itu memang lebih banyak membawa beban. Mereka saling berbagi lalu menyegera ke camp. Ada sedikit kelegaan kami. Nafas tak lagi terengah. Sedikit demi sedikit kami mencoba meredam detak jantung yang mengencang. Suara jantung seperti sirenai ambulan gawat darurat. Meraung tinggi. Kami bisa menatap asap hitam bercampur putih di kejauhan. Asap itu membumbung diatas hutan yang belum di tumbang. Namun suara gemerencak gerakan api sangat keras. Bayang bayang warna merah keemasan meliuk liuk di dasar hutan. Dipangkal pangkal pohon yang sudah di imas. Jalur yang telah kami lewati, kini di penuhi api.
“Lunang ambil sinsaw. Potong kayu kayu yang mendekati pondok “ teriak Dharma mengagetkan kami semua. Ada tiga mesin pemotong kayu yang mulai meraung raung. Ketiga orang yang membawanya segera berpencar . mereka memotong kayu yang melintang mendekati pondok . lalu Dharma dan Herman mengangkat potongan kayu tersebut membuangnya menjauh dari area pondok. Ramos dan Bernat juga termasuk aku tak mau ketinggalan segera kami ikut membersikan area tersebut dari kayu dan dahan kering yang memungkinkan akan disambar api. Angin dari arah Barat daya membawa rambatan api mulai memutari. Gerakan api sudah menuju jalur Utara. Disudut hutan yang sudah ditumbang LC sudah tampak jelas api nya. Gerakan lidah api yang menjilati setiap batang kering menyulapnya agar menyala. Batang batang pohon yang telah tumbang itu terasa ranum disantap si jago merah. Batang batang pohon yang sudah menunggu untuk dirumpuk, telah banyak menjadi kemerahan .
“ Bang Dharma, its not Good…. “ Claude menatap rambatan api di sudut Barat laut sudah membuatnya punya perhitungan.
“ Ayo kemana kita pergi, ? “ desak Claude . Sementara kami baru saja membuang potongan batang kayu yang terakhir dichainsaw , camp itu sudah bersih dari batang batang kering hanpir dua puluh meter. Keliling pondok itu sudah kelihatan bersih. Dharma naik ke lantai barak diatas anak tangga ia duduk. Sembari menenangkan desakan nafasnya. Ia menatap api yang mulai membesar. Kelihatanya ia mulai memprhitungkan segala kemungkinan. Api sudah merambah di arah utara. Jalur keluar dari area itu pupus sudah. Sementara arah jalur Timur hingga Selatan tampak luas dengan rebahan kayu yang telah di Land Clering. Jarak yang di tempuh seribuan meter. Akan kalah cepat dengan gerakan api. Tak menunggu lama api sampai juga kebatas tumpukan kayu di dekap pondok. Dengan ganasnya di batasan itu mereka melahap emua yang kering. Orang orang menyeksikan dengan seksama. Ketika batang batang kayu yang sudah menjadi bara berguguran ke tanah. Kembang kembang api mulai padam. Namun bara bara itu menyusup masuk disela sla gambut yang mulai kering karena panasnya api. Bara yang masih menyala menyebarkan virus panasnya di bawah permukaan. Seperti spionase panas api itu mulai membakar apa saja yang telah kering di dalam tanah. Namun Tak ada api tanpa asap. Penyusupan api kebakaran itu mengepulkan asap, membuat semua orang di pondok terkejut. Asap keluar dari tengah area yang sudah di bersihkan. Herman meraih tombak, lalu menghujamkan ke tanah.Lobng kelur asap tertibun asapnya pun terhenti. Belum jauh Herman meninggalkan tombaknya, asap itu keluaar menyebar dari sekitarnya, semangkin menyebar. Tanah gambut yang di tusuk semangkin mengeluarkan asap hitam kecoklatan yang sangat menyesakkan.
“ Her… percuma itu “
“ Oke Bagikan semua bekal bahan makanan. bawa mesin chainsaw , “ terputus sejenak ucapan Dharma. “ Kita terobos jalur Barat kembali , kita memutar dari Lubuk Buaya.“
“ Siaap pak “ ucap Lunang dan Edi serempak. Mereka segera memanggul mesin masing masing serta membawa geregen minyaknya. Aku dan Wawan berbagi untuk mengikuti Lunang dan Edi. Para bule kebagian membawa bahan makanan bersama Herman. Walau ada kesan mereka ini tidak masuk akal, tapi mereka hanya geleng geleng kepala saja. Protes bagi mereka sama saja dengan cari penyakit.
“ Bang Yakin , kita bisa menembus kebakaran itu ? Claudei meringsut Dharma. Setelah menarik nafas panjang dia hanya melihat cewek itu sebentar. Kemudian ia palingkan tubuhnya, segera berjalan menyusul anggota yang sudah didepan. Setelah tiba didepan api yang membara, berheenti sejenak. Suara krapyak-nya kian bergemuruh. Anggin yang sesekali mempermainkan lidah api di bawah pepohonaan. “Oke tunggu, “. Semua berhenti, menunggu yang lain sudah tiba.
“ Oke siap semua, kita berjalan secepatnya, yang potong kayu membagi dua kanan kiri, yang di belakang segera singkirkan. Yang lain menjaga mereka jangan sampai ada api yang mendekat. Oke paham ?” suara Dharma terdengar keras. Ia ingin memastikan semua mendengar.
“ Sebelum jalan, basahi dulu kaki kalian dengan air itu” Dharma menunjuk sebuah parit yang terendam. “Pijak yang kayu atau akar, jangan pinjak gambut. Pakai penutup mulut itu juga di basahi dulu , paham.” Terang Dharma menyambung peringatan tadi. “ Paham..! “ sambut kami srempak.
”Kita menuju kembali ke camp cantong satu lalu kekiri menuju Lubuk Buaya disana terendam air jadi api tidak sampai kesana. “ Semuanya terlihat ada suatu tujuan yang aman. Lidah lidah api semangkin mengila melalap ranting kering dari imasan. Pohon pohon tinggi yang besar masih tegap berdiri. “oke , Tiga , Dua , satu, go go “ teriak Dharma. Dua orang yang memegang mesin sinsaw saling berbagi batang kayu yang melintangi jalan. Walau dalam keadaan terbakar harus segera disingkirkan sepanjang lengan pria dewasa batang kayu tersebut di cincang. Aku menyambut kayu yang penuh api itu, mengamankanya untuk disingkirkan. Dengan beberapa ujung ranting kayu kupadamkan api lalu kugeret keluar jalur. Setelahnya aku bergerak kedepan lagi. Orang orang di belakangku mengikuti. Mereka juga siap siaga dengan beberapa pucuk dedaunan untuk memadamkan api sekitaran kami.
Raungan mesin terus memburu kayu kayu dengan apinya. Percikan bunga api sering terlihat tatkala rantai rantai yang memotong itu bersinggungan. Dalam hitunga dua menitan dalam setiap potongan kemudian dalam semenit aku telah menyingkiran cincangan batang kayu terbakar itu ke pinggir jalur begitu juga Wawan yang berada di sebelah ku. Ia mengamankan sisi kiri. Menyingkirkan potongan kayu dari Edi. Dibelakangnya ada Herman yang selalu siaga dengan pucuk pucuk kayu untuk memadamkan api . Sementara Claudi dan Michel menungu giliran untuk terus melangkah. Dharma berda di sisi tengah kami, iya yang memberi perintah kayu mana yang di potong . atau arah mana yang dituju. Suaranya sering kali terdengar. Entah itu bertanya atau perintah. Suaranya mengibangi gemuruh api yang pesta pora. Langit memang terlihat cerah namun asap hutih yang bercampur karbon mulai memayungi udara di sekitar kami. Asap asap itu terus menyusup diantara pepohonan yang masih berdiri. Kecuali batang pohon meranti yang mudah terbakar. Sudah ada yang mulai dipanjatin api. Menusuk nusuk diantara serat kayunya yang merekah. Belum jauh kami menembus hutan yang terbakar. Sedikit lebih ringan yang di singkirkan. Hanya sisa sisa batang yang telah habis gosong. Jalur perjalanan pun tampak bersih hanya debu debu putih yang di sisakan api. Raungan mesin chainsaw tak lagi terdengar. Mesin itu hanya di panggul saja oleh pemegangganya. Kami terus berjalan hingga camp centong satu. Sampai disana masih terlihat serakan nasi yang di lantak oleh babi hutan tadi siang. Serta mie instan yang telah mengembang berseraka dengan sebuah panci yang terjungkir balik. Herman ingat air mineralnya . kotak minum yang tertinggal tadi. Syukurlah , botol 600ml itu tak terbakar. Walau kardus nya telah hangus menjadi serat debu yang putih.
Semua mengambil sebotol, yanng tersisa dikumpulkan Herman dalam karung bawaannya. “ Haaa,… ha.. sambil menikmati air mineral. Semua mulai tertawa . Menertawakan diri sendiri terhadap apa yang baru kami alami. Begitu nikmat rasanya. Sekitarnya tampak begitu luas sekarang. Hamparan tanah hutan dinaungi beberapa pohonan tinggi. Kami menuju ke selatan dengan tujuan rawa rawa. Perjalanan nanti akan di lanjutkan melalui sungai dengan mengunakan miskor. Belum jauh benar menelusuri jalur itu, kami sudah mulai merasakan rawa rawanya. Tanah gambut yang terpijak sangat lembab dan kadang basah. Sementara lokasi tersebut sudah tak lagi tersentuh kebakaran tadi. Tumbuhan berduri yang seperti pohon salak mulai banyak di jumpai. Duri sepanjang jari lelaki dewasa ada di sirip dahannya yang lurus separti pelepah sawit. Tapi tumbuhan seperti pohon salak. Buahnya terlihat seperti salak tapi lebih cerah dari warna coklat. “Itu pohon kuldi, buahnya rasa asam. Enaknya di jadikan sayuran,” Dharma memberi tahuku. Tapi durinya bisa membuat kita tetanus, demam.” Lanjutnya lagi. Beberapa orang mencoba membayangkan jika dirinya menusuk tubuh. Menyeringai ngeri.
Memasuki kawasan rawa dibarengi dengan ngemericik air yang tersimbah dari kaki . suara suara berat seperi bass mengesek sepatu boots. Cepratannya seringkali naik hingga ke pangkal paha. Pohon bakung yang berdaun lebar telah kami temui, menandakan sudah mendekati bibir sunggai. Tepatnya lokasi ditengah rawa. Daratan gambut tak lagi kelihatan . Hanya tonggolan akar akar kayu yang kami pijak. Pohon bakung itu semangkin rapat dan langit juga sudah tampak jelas. Garis bayang bayang pepohonan tinggi sudah dibelakang kami. Lunang yang paling didepan berteriak ,melepaskan semangatnya. Ternyata pria itu telah sampai diujung jalur. Sebuah bibir sungai tanpa tepi. Hanya akar akar bakung yang jadi pijajkan.
Semua ikut melepaskan beban pikiranya. Dharma mencoba membasuh wajahnya yang kelihatan sedikit hitam. Berlari di areal kebakaran sehingga diserbu debu dedaunan. Para bule yang tadinya sedikit ragu ragu kini ikut juga membasuh mukanya. Disisi kanan kami ada sebuah pondok dengan tiang tiang kayu. Lantai pondok itu hampir dua meter di atas permukaan air. Dharma mengajak kami ke sana. Disisi tangga ada dua sampan yang tertambat. Diatas teras ada tiga orang yang tampaknya telah mengenal Dharma. Kami disambut dengan salaman hangat. Hanya sebentar saja, dua dari pria itu pamit. Mungkin karena hari telah hampir senja, itu pikirku. Di langit sebelah Barat sudah kelihatan corak memerah. Sementara di arah Utara asap hitan kian membumbung. Kebakaran tadi sepertinya semangkin meluas. Hembusan nafasku serasa belum normal. Nafas ini mengajak istirahat sejenak. Sungguh terasa penat hari ini. Dharma tersenyum memandang ku . “ Bagaiman, seru kan “ senyum menghiasi pertanyaannya. Aku hanya mengelengkan kepala dan menyambut senyum itu. Tertawa pelan “ Bang, gila lokasinya kayak gini, tahan juga nya kerjanya ?” ketawaku sambil enggak habis pikir. Kenyataannya di hutan sperti ini menjadi sebuah adventure life nya.
“Tantangan pasti ada untuk mewujudkan rencana besar “ ungkapnya dengan lantang. “ Apa yang kau takutkan tak akan terjadi. Walaupun akan terjadi juga , tak seburuk yang kita bayangkan “ ungkapku juga. Aku mngulang motto yang sering diucapkan Dharma. Semboyan yang selalu membuat aku dan dia terus berpikir positif menghadapi tantangan.
“Bagaimana, kuliahmu sudah bisa selesai tahun depan ?” tanyanya membuka fokus pembicaraan baru. “ Tenang aja, pokoknya selesai lah “ optimisku.
“ Bagaiman kabarnya Ucan, ?”
“Ooh, si jelek itu, “ ku garuk garuk poni yang enggak ada ketombenya. Sebenarnya ungkpan itu sangat berbeda dihatiku.Jika membicarakan cewek itu aku seperti kikuk sendiri. “Haa…ha” ketawa Dharma ringgan melihat mimikku.
“Ya biasalah, masih suka nyebelin aja. Tapi mungkin Sekripsinya sudah selesai , malah aku yang dikejar kejarnya ntuk mempercepat” Dharma sedikit menyeringai, untuk menaggapi ungkapku. “ biar sama sama selesai ajaknya “
“ Yaa, enggak apa apa, itu lebih bagus biar bisa lebih fokus untuk menghadapi bapaknya “ Tiba tiba Herman naik ke teras , ia membawa dua cangkir.
“ Pak Kopinya…” “ Oke man, mantap ini “
“ Terima kasih bang “ kusambut secangkir kopi hangatnya.
“ Hidup memang harus membuat tujuan tujuan, agar ngerti sudah sampai dimana kita. Dan dalam perjalanan itu kita memang menbutuh kan teman seiring. Bisa membuat balance untuk mengambil keputusan yang krusial” pencerahan dari Dharma mengalir cepat . terasa nyodok hati .” Maka Tuhan Menciptakan Hawa sebagai pendampingan Adam,” Lanjutnya, walau dia ngomongnya sambil menghirup kopi. Menikmati pahit dan manisnya minuman itu. Seakan setegukan kopi itu telah menghilangkan setres hari ini. Ramos dan Bernard tampak menikmati air gambut. Di tepi sungai diatas rakit yang tertambat. Mereka mandi dengan sesukanya. Tertawa renyah sambil memain mainkan air yang berwarna kecoklatan itu. Sesekali mereka mencelupkan diri kedalam sungai.
“ Bang jangan terlalu berisik, awas nanti ada yang merayap. “ sebuah peringatan di lontarkan Edi. Disini mungkin ada buaya kataknya, buaya yang merayap tapi bisa melompat kayak kodok “ Edi serius melenjutkan peringatannya. Dengan sedikit tak nyaman keduanya naik keatas rakit kayu. Disisi lain Michel dan Claudea hanya membersihkan wajah mereka yang sedikit berdebu arang. Banyak bintik bintik hitam sisa bakaran dedaunan. Debu arang dedaunan yang bertebaran melekat di wajah mereka. Namun begitu Kelihatan mereka tidak berniat untuk mandi.
Duduk melingkar menghadapi makanan malam. Dua lampu minyak tanah menerangi mereka. Walau demikian suasana teras Huma nelayan ini terasa lebih terang dari sekitarnya. Sesekali Dharma berteriak memanggil nelayan yang meelintas di sungai. Ia mengajaknya untuk singgah sebentar. Namun tak seramai hilir mudik orang di jalanan aspal, setidaknya sudah belasan orang yang lewat dengan sampan kayunya sejak senja tadi.
Menu makan malam sekaligus makan siang. Ada beberapa ekor ikan pancingan yang di bagi rata, lalu Mie Instan berkuah yang dicampur dengan telur beraroma soto medan. Mengugah selera makan. Secara bergiliran menyendok nasi dan lauk pauknya. Beras kuku balam yang wangi luwet terasa licin di lidah walau hanya dengan sambal goreng terasi. Saat melahap makanan itu tak ada yang membuka pembicaraan. Hanya suara serik binatang malam yang nyaring. Terlebih suara kodok seperti suara bass yang mengiringi seriosa senja menjelang gelap. Memanggil malam tanpa hiasan bintang. aku hanya berharap tak ada hujan malam ini.
Menikmati malam ini aku dan Dharma menemani Lunang. Diatas Sampan duduk bersila sambil menunggu ikan memakan umpan. Menatap sinar mata bulan di atas air rawa yang beriang kecil. Air rawa yang jernih walau kelihatan hitam, membuat cahaya bulan yang redup tampak jelas. Belum ada bintang, sepertinya asap putih yang masih membubung menutupi sebahagian langit diatas kami. Diatas Teras panggung Para bule duduk berdiskusi. Herman dan temanya juga masih sibuk membereskan dapur. “Ketika awal kebakaran tadi kau fotokan ?” tanya Dharma.
“Iya, ada tiga kali petik kayak nya “
“Nanti aku pinjam untuk bukti di kantor. “ ungkap Dharma sedikit datar. “Memangnya kenapa ?”
“Dua minggu yang lewat, terjadi kebakaran di lokasi Garapan Masyarakat. Areal itu masih berstatus sengketa antara perusahaan dengan warga dari luar daerah Mereka menguasai lahan tersebut dengan ganti rugi imasan. Masyarakat setempat meminta warga luar itu untuk menyerahkan garapan mereka. Namun mereka kalah dukungan di desanya, masyarakat desa mau mengembalikan uang ganti rugi imasan dua kali lipat, tapi di tolak. Kalau ada yang mau ,harus membayar dengan harga yang lebih mahal. Lalu warga desa menyerahkan sepenuhnya kepada pihak perusahaan untuk mengambil alih. Lalu kami dengan surat kuasa HGU yang telah keluar Menguasai Areal tersebut. Dan berusaha mengusir para penggarap luar itu. Dengan dalil penguasaan Haa Gee Uu dan izin pengusaha Perkebunan sawit, kami menekan pengarap. Beberapa kali kita melakukan pemanggilan dipihak terkait tentang penguasaan hutan secara Illegal tersebut. Hingga mereka menyerahkan tanpa syarat. Tinggal sebahagian yang bertahan. Mereka rupanya tak mau menyerah begitu saja. Ada LSM yang mencoba mereka dekati untuk pendampingan hukum. Akhirnya mereka menyambut niat ke DeePeerR. Ada anggota dewan yang tertarik terhadap masalah mereka. Lalu aling aling mereka mendapat pencerahan hukum tentang penguasaan lahan hutan tersebut. “cerita Dharma sedikit panjang.
“ Maksudnya ada kelemahan perusahaan yang di ketahui mereka ?” “ Iya dalam surat izin penguasaan lahan untuk perkebunan ini , perusahaan wajib menghindarkan areal yang telah di olah oleh masyarakat. Setelah selesai pendataan faktual areal di lapangan baru nanti di buat perubahan terhadap HGU yang telah keluar.”
“ Lantas apa yang di lakukan orang orang itu “ tanyaku sambil melepaskan mata kail dari ikan yang baru saja ku tarik ke atas. “Mereka mulai dapat ide, dalam masa sengketa hingga diturunkan team terpadu yang mewakili beberapa dinas terkait untuk meninjau areal tersebut, para pengarap menanami lahanya dengan tanaman semusim. Ada pisang, nanas, dan secara masip mereka menancapkan bibit sawit yang belum cukup umur secara diam diam. “ Dharma semangkin melambatkan nada bicaranya. Ada senyum kekalahan di sana. Dia merasa di curangi.
“ Kok, bisa mereka kayak gitu?. Apa tidak ada yang memantau “ curigaku. Mereka masuk di hari hari libur. Lalu mereka juga mengirimkan bibit sawit lewat sungai dengan perantara penangkap ikan. Sehingga tiba tiba saja area mereka telah kelihatan tergarap lama secara alamiah. Padahal baru setahun ini mereka ada di sana.” Dharma menitikkan ucapanya tiba tiba. Karena benang nilon pancingnya terasa bergetar ada yang menarik. Dengan sigap ia memberi respon berlahan memberikan ruang gerak ikan untuk lebih dalam menelan umpan. Lalu setelah sekian detik bermain main dengan saling tarik ulur Dharma menberi hentakkan hingga pancingannya menyembul dari dalam air. Mengepar seekor ikan yang cukup bersar hentakan itu juga sampai terdengar orang orang yang duduk di teras. Mereka ikut bersemangat bersorak. Herman dengan sigapnya berlari dengan sebuah tanggok di tanggannya. Ia siap menjaring ikan besar tersebut. Tak sia sia gerakannya , seekor ikan Tapah hampir sebesar ceret menggangga dengan mata kail di mulutnya. Herman memukul ikan tersebut dua kali lalu memegang mulut kemudian melepaskan mata pancingnya. Dengan tersenyum senang ia menggangkat tangkapan itu bangga. Dan berlalu ke tepi mengamankannya. Lunang hanya memberikan acungan jempol , Dharma hanya tertawa kecil menanggapinya. Aku hanya angguk angguk , keren. Aku berharap pancinganku kali ini mendapat ikan yang sama. “Jadi…?” tanyaku mulai pembicaraan kembali. “Jadi mereka dibiarkan saja seperti itu ?”sambungku.
“Tidak…” jawab Dharma cetus. Penjagaan dihari libur kita perketat untuk orang orang yang melintasi Jalan di areal kita. Ditempat penyewaan sampan kita anti sipasi dan mengadakan pendekatan intensif. Untuk di desa sendiri kita sudah komunikasi agar aparat desa tidak lagi mengeluarkan surat surat keterangan penguasaan lahan dan surat keterangan menjadi penduduk setempatbagi pendatang baru”
“Cukup koperatif juga cara pencegahannya ?” kesimpulanku untuk sementara. Tiba tiba Dharma tertawa pelan,” Suatu hari di tempat menimbunan bibit sawit mereka terjadi sesuatu. Bibit bibit itu menguning. Dan Bibit yang sudah tertanam secara misterius hilang tanpa jejak.”
“ Memangnya kenapa, kok bisa ?. siapa yang punya kerja ?” tanyaku sedikit serius. Dharma menatap ku tajam “ Pelakunya kami tak tahu “ Dharma mengelengkan kepalanya. “ Tapi cara kerjanya bukan sembarangan” lanjutnya lagi dengan rasa sedikit salut. “Pelakukannya telah merencanakan dengan matang dan benar benar tak masuk akal “ Dharma menambah kekagumanya
“Kok bisa bang ?”
“ Iya Orang itu menyemprotkan Glufosat dengan campuran Slow reles respon. Tak perlu banyak, dia cukup menyemprotkan seadanya saja, lalu racun rumput itu bekerja dengan masif. Dengan prosentase keberhasilan reaksinya 90 persen. Dengan akibat kematian hampir 100 persen. Waktu peracunan hingga kematian seperti itu membutuhkan waktu sebulan. Sehingga jejak perbuatan itu tak diketahui secepatnya. “
“Jadi dia telah mengetahui sebelumnya rencana pengarap untuk kecurangan itu. Sebelum pihak perusahaan menyadari kelicikan itu “
“Iya. “ pungkas Dharma cepat.
“Ada musuh dalam selimut dikelompok penggarap ?” dugaku kemudian. Dharma hanya diam. Ia hanya bergeming sedikit tak ingin bermain main dengan praduga yang tak pasti.
“Atau ada orang suruhan perusahaan tanpa abang dan orang lapangan mengetahuinya “ nada dugaku sedikit menyepelekan. Dharma hanya menganggkat bahu. “ Tak tahulah yang pasti para penggarap itu telah menganggap kami yang melakukan kelicikan tersebut. Sejak saat itu di beberapa blok tanaman baru terjadi penjabutan bibit . bibit itu pindah secara misterius . atau bibit yang di cabut tersebut di ketemukan telah di cincang. “
“Ya tak mungkin ada api enggak ada asap. Pasti ada aksi ada reaksi “
“Iya, dengan adanya laporan kehilangan bibit di lapangan membuka pengamanan areal diperketat. Setiap orang non karyawan dicurigai sehingga dilakukan pemeriksaan secara terpaksa yang mengesankan berlebihan. “
“Soo…”
“ iya , so. Puncaknya dua minggu kemarin terjadi kebakaran di areal garapan yang menghanguskan areal mereka. Termasuk beberapa gubuk penggarap. Areal mereka yang tak memiliki galangan api untuk anti sepasi kebakatam arela membuat api bergerak liar di tumpukan tumbangan mereka yang sebarangan. Pembuangan air Gambut yang secara membabi buta tanpa tata kelola air Gambut. Penyebab lahan mereka kering total dan santapan yang sangat renyah , wuusss “ Dharma bersemangat “ Lalu semuanya habis, Gossong “ aku hanya menggangguk mengerti sedikit letak sengketa kemarin yang terjadi di kantor mereka. Kutatap asap putih yang sedari tadi menyelimuti telah bergerak mengikuti hembusan angin malam menjauhi perairan. Bintang juga sudah terlihat bahkan bulan yang belum sempurna sudah berada diatas kepala. “ ayok kita istirahat lagi, besok perjalanan kita lebih berat” ajak Dharma untuk meninggalkan sampan .
“ Lunag , bereskan nanti ya “ pesan Dharma sebelum ia benar benar meninggalkan lokasi pancingan. “ iya Pak, beeres “
Setelah menaiki anak tangga yang terakhir, Michel menjegat kami “ Saya banyak mau ngomong Bang “ ungkapnya masih dengan aksen campuran.
“ Iya sma, saya juga mau banyak tanya sama kalian. “ tegas jawab Dharma
“Tapi saya keburu capeek sekali malam ini, sebaiknya kita bicara besok pagi saja. Sekarang sebaiknya kita segera istorahat “ Dharma sedikit memprlihatkan cueknya. Ia berlalu dari hadangan itu. Lalu menuju tempat merebahkan tubuhnya. Aku pun merebhkan badanku di sisinya. Tanpa banyak cerita lagi segera baca doa mau tidur, dan mata pun terpejam seketika.
Malam itu, jangkrik bersahutan tanpa suara kodok. Hawa malam ini tak terasa dingin. Tapi aku sendiri, kemana yang lain. Ku melangkah di antara lorong lorong belukaran dengan bantuan sinar bulan yang hampir naik di atas kepala. Langkah ku pun terasa tanpa ragu berpedoman sinar bulan itu. Tak jauh rasanya aku melangkah terdengar suara gemuruk , ramai sekali. Beberapa kali terdengar suara dentingan besi beradu. Plat baja atau apalah, suara beradunya begitu berdebur. Kucari jalan menuju arah suara. Ku sisir ke sisi kiri , beberapa ongokan belukar kulalui ada cahaya menyusup diantara belukaran. Berlahan tapi pasti ,aku menemukan asal cahaya tersebut. Benda benda bersinar. Beberapa lampu pijar di sebuah pondok. Semangkin ku dekati pondok itu maka beberapa pondok berjajar di terangi lalmpu pijar. . dengan mengendap kucari tempat untuk mengamati. Beberapa suara teriakan dengan aksen tak kukenal. Tapi tunggu suara suara bicara itu seperti aku mengerti artinya. Di sudut pemisah antara areal bersih dan belukaran aku menyembunyikan diri. Tiba tiba sebuah pintu bergeser membuat aku terkejut. Lalu dengan serta merta aku melompat. Melayang sebentar lalu mendarat di balik belukaran “uups”. Aku tergelincir membuat terjerebab menindih belukaran. Dedaunan krisan itu amruk rata dengan tanah. Ku perhatikan yang baru saja kupijak. Bersinar sinar. Seperti ada cahaya pelanggi. “Uuups”. Itu botol botol minuman yang memantulkan cahaya dan sinar dari sekitarnya. Berpadu dengan cahaya bulan. Kukutip beberapa botol tersebut, bentuknya seperti botol kaca wadah minuman alkhohol. Wisky atau apa lagi aromanya menyengat hidung. Menumpuk, sebentar aku takjup dengan onggokan sampah botol botol miuman merk Luar negeri. Tebakku pondok yang dekat ini adalah tempat orang ngumpul untuk makan atau sejenisnya. Aku menyisir lagi ke arah terikan teriakan. “ Come on,.. Go..go.. Oke “ beberapa teriakkan lagi itu Bahasa asing tak ada bahasa harianku. Suara gemuruh ternyata berasal dari sebuah mesin Diesel pembengkit Listrik. Di posisi tenggah dari kelilingan pondok terlihat sebuah Tonggak Besi , oh, bukan. Itu sebuah menara besi. Wah , bukan sepertinya Empat besi yang tinggi sekali, seperti pancang di laut lepas. Tempat itu di terangi dua Lampu bulat yang besar dari dua arah yang berlainan dengan sudut pantul membentuk siku siku. Benderang namun tak membuat silau mata. Ada enam orang mengelilingi tonggak besi itu. Sebuah Rotor yang di putar sebuah motor membuat sebuah pipa baja berputar dan mengerus permukaan tanah. Rotor terus berputar dan kian menekan menghujamnya pipa baja ke dalam bumi. Tak berapa lama sebuah tonggak besi yang ian mengeluarkan semburan lumpur. Semburan itu kian lama kian berubah mencair. Lalu berhenti total. Tiba tiba di tonggak besi yang lain mengeluarkan asap berlahan hilang dan secara tiba tiba berubah api. Gejolak api itu berkobar mengikuti anggin malam yang berhembus lembut. Suara sorak gembira serta teriakan teriakan kebanggaan terdengar saling bersahutan dari beberapa sisi didsekitar nya. Dari pondok di sampinggku telah keluar pula bebarapa orang. Tapi perawakannya tak seperti yang lain. Mereka lebih pendek dan tinggai rata rata. “Wess mantep sir… “teriak mereka memberikan selamat pada seseoang yang tenggah diberi tepuk tanggan. Seorang wanita tiba tiba keluar dari pondok tersebut . menyerbu sesorang di tenggah kerumunan . lalu tanpa ada rasa canggung mereka saling berciuman, saling berpelukan namun yang lainya hanya tertawa. Mereka saling bersalaman. Dua orang pribumi sedang menuju mereka dengan membawa beberapa botol minuman. Mereka benar benar merayakan sesuatu yang special. “Bahasa mereka asing, namun aku mengerti apa yang di maksud “ ya bahasa mereka beraksen asing . Namun suara mereka tertengar berubah menjadi teriakan histeris. Sebuah dentuman dari arah tumpukan drum. Di sisi kanan mesin genset. Drum drum berisi minyak tumpah kemudian disambar api yang sudah menyala membakar sebuah sudut pondok yang lain. Semua bersiaga dengan suara gaduh mencari penyebab kebakaran tersebut. Beberapa mereka sudah siap dengan senapan ada juga yang sudah memengang batang batang besi untuk memukul lawan. Kobaran api semangkin marak mengikuti rembesan minyak yang mulai membanjirin tanah sekitarnya. Dibalik kobaran api beberapa bayangan bergerak cepat. Ada empat ekor Binatang melompat membelah api. Mereka menerjang kobaran dan mendarat hanpir di depan jajaran manusia yang sudah siap sedia. Mengetahui apa yang menyerang mereka, sepertinya ciut nyalinya. Mereka kocar kacir. Keempat binatang itu berpisah saling berpencar. Mereka mengincar mangsa masing masing. Wanita yang tadi pergi ke tenggah berlari kearah pondok . tapi dia terjatuh lalu didatangi binatang yang menyerang. Langkah binatang itu siap menerkam namun wanita itu cepat bangkit ia berlari. Ia berlari. Dan terus berlari. Tanpa melihat kebelakang. Wanita itu terus berlari menuju arah ku. Oh tidak, aku pun terkejut. Wanita itu benar benar mengarah ke tempat aku berdiri. “ Tolong…. “ teraiknya menjerit di depan ku. Aku melihar binatang buas itu sudah melayang siap menerkam nya. Entah dari mana aku memperoleh sebuah kayu. Ku ayunkan kayu itu memukul punggung si buas. Binatang tu merubah posisi jatuhnya disisi wanita itu. Ia bergulir kesamping dan membuat gerakan punggungnya untuk tegak kembali. Binatang putih itu siap menerkam sang incaran . Aku menarik tanggan wanita itu dan mendorongnya ke balik belukaran. Aku siap menghadapi binatang yang sedang buas itu. Ujung kayu ku pegang erat dengan kedua tanggan . Seperti seorang Samurai yang siap membabat lawannya. Belum siap aku dengan ajang ancang menangkis serangan binatang putih itu telah mendaratkan kedua kakinya. “Aaakkkh” aku tak bisa bernafas.
Kusibakkan selimut tipis di wajahku. Kiranya kain itu yang telah mencakar wajah. Desak nafasku masih tersenggal. Jantungku masih bedenyut kencang. Kutenangkan diri sejenak. Ku duduk. Lampu minyak masih menyala dengan kobaran kecil. Apinya yang meliuk liuh tertiup angin malam terlihat tak setabil.. Ku putar pandangan ku kesekeliling. Semua terlelap tidur. Berbaring dibuai aingin malam yang lembut. Namun di sudut teras Claude diam memperhatikan sesuatu. Ada sesuatu di luar sana yang menarik perhatianya. Hingga kehadiranku tak disaarinya. Aku mendekat , penasaran mengapa dia masih terjaga malam seperti ini. “ Hai, ada apa ?” sapaku pelan untuk tidak mengejutkannya. “ Ssttts… “ setengst terkejut. Claude menutup mulutnya yang mendesis dengan jari . Menyuruhku untuk memelankan suara dan langkahku. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk tanggan cewek itu. “ Cahaya itu…itu “ telunjuknya mengarah cahaya putih yang terlihat diantara sela daun Pandan. “Itu bersinar…. ?”
“ Iya itu bersinar , sudah hampir setengah jam, sejak bulan mulai menyingsing “
“Apa itu “ tanya ku masih belum tahu.
“Entah lah , sepertinya sesuatu di atas air yang mengambang “
“Diatas air ?, berarti bisa kita dekati “Tebakku tiba tiba.
“Iya, bisa kita dekati….” ulang Claude. Tiba tiba ia melangkah ingin menuruni tangga. “Eeh… mau kemana ?”
“Melihatnya, memastikan itu apa “ nada suara Claude sedikit bersemangat. Walau masih terasa pelan agar tak membangunkan orang lain.
“Eeh…” aku pun merasa terpaksa harus mencegahnya ketika cewek itu sudah menarik sampan. Cepat aku menuruni tangga dan sedikit melompat mencegah untuk meneruskan niatnya. “ Ayok…, ambil itu dayungnya” aku malah menuruti perintahnya. Ku sambar saja dua kayuh . Setenggah menjingkat aku menaiki perahu.
Sementara Claude sudah duduk manis di ujung yang lain. Satu , dua , tiga, kayuhan itu kuayunkan berlahan kanan dan kiri untuk menyeimbangkan laju perahu. Benar saja itu cahaya mengambang di atas air. Semangkin kami dekati berlahan semangkin jelas cahaya itu. Sedikit menyilaukan. Cahaya yang benderang diantara rawa rawa yang di tumbuhin pohon pandan berduri . Sebuah cahaya dari sesuatu, seperti piala. Namun cahaya itu tiba tiba redup tatkala sang bulan mulai hilang di balik bayang bayang hutan. “ Haa…ahhha.. Teratai. Ya teratai “ suara keherannan keluar dari mulut ku. “ Yaaa, aku tahu ini… “ ucap Claude tak ku duga.
“Kenapa?” tanyaku. Cewek itu hanya bergumam. Lalu merabakan tangganya menyentuh dedaunan yang berbenyuk bulat. Hampir melingkar sempurna. Daun yang mengambang diatas air rawa itu ia sentuh dengan penuh kagum. “ lest go, kita kambali pondok “ ajak nya. Aku tak protes atau memberi pertanyaan lagi. Menyegerakan mengayunken kayuh kembali menjauhi tempat itu.
“Ayok cepat sebelum buaya buaya itu terbangun “ sedikit memberiku efek takut. Kayuhanku pun ku kuatkan dorongannya. Ku buat sekuat tenaga. Sebelum menepi masih ku sempatkan lagi melirik tempat tadi tapi tak ada sinar. Disana terlihat hitam gelap hanya kerlap kerlip kunang kunang yang menghiasi pohon di pinggir rawa rawa. Aku pun segera mendaratkan sampan. Menariknya ketepi. Setelah Claude melompat keluar, sampan itu ku seret ke darat.
“ Ssettss” cewek itu masih memberiku tanda untuk melambatkan suara langkah agar tak membangunkan orang orang. Di atas teras ku mecari posisi awal tadi aku melihat cahaya itu. Sama saja tetap tak ku temukan arah yang pas. Dari atas teras pun hanya gelap malam terlihat disekeliling. Bulan tak kelihatan hanya bias sinarnya di ufuk Barat yang mungkin sudah mau terbenam. Terlalu serius aku ingin menemukan letak cahaya itu hingga tak menyadari Claude sudah didekatku. Wajahnya bersisihan hanya berjarak beberapa centi saja . kami melihat arah yang sama. Aku hanya menelan air liur ke dalam kerongkongganku . untuk menentramkan detak jantungku yang berdegup mulai kencang. Seperti orang yang sedang berlari pagi, detak jantungku benar benar kenjang. Berlahan tapi pasti suara detaknya terdengar hingga keluar. Claude melirik aku sesaat. Ada senyum tipis dibibirnya. Seakan memaklumi apa yang terjadi. Aku menahan rasa malu-ku yang tiba tiba muncul. Aku menghindari tatapan mata cewek bule itu. Masih mencoba menebak nebak arah mana yang menjadi cahaya bunga Teratai tadi.
“ Dia tidak akan bersinar lagi, hingga ada bunga yang baru muncul kembali “ suara Claude datar agak sedikit tertahan tahan. Aku masih tak mengerti. Jadi hanya merubah mimik wajahku sebentar. mengerutkan kening saja.
“ Bunga itu hanya sekali bercahaya untuk memberi tanda tentang keajaibanya. Kemudian setelah itu dia menunggu untuk diambil lalu menanti bunga baru sebagai pengganti.” Kali ini suara Claude jelas mengucapkan kata katanya.
“Maksudmu, kau mengetahui itu semua. Ada bunga yang bercahaya di rawa rawa?. Bunga itu punya keajaiaban ?. Di zaman secangih sekarang?” banyak lagi tanda tanya yang ingin ku ajukan.
“Heeaamm…” Claude hanya bergumam layaknya seorang politisi.
“ Bagaimana, kau seorang terpelajar dari barat. How you can believe. Mempercayai hal hal seperti itu.”
” Aku tak mengerti juga. Apakah sebuah legenda hanya sebuah cerita belaka ?” cewek Bule itu menyodorkan pertanyaan.
“ Dongeng…..hanya cerita omong kosong. Coba kau ubah Mind sett-nya bang “ nada Claode sedikit mengejek. “Kisah dongeng tak akan muncul jika tidak ada yang terjadi. “ Nada suara cewek itu sedikit bersemangat. “ Kita ubah cara pikirnya, Kalau kita menpercayahi maka akan terjadilah kisah Legenda. “ matanya bekedip seakan mengoda untuk menyetujui pendapatnya. Resumenya itu sedikit membuatku berpikir ulang tentang sebuag kisah dongeng. “ Tapi sekarang zaman teknologi digital. Yang reaal adalah kenyataan.” Ungkapku ingin menyadarkan diri sendiri untuk tidak terpengaruh.
“ Eeh, Lalu ketika kau tak melihat Tuhan Lantas kau tak mempercayain keberadaannya ?” todong Claude sedikit tak ingin kompromi.
“ Asstafirullah, “ Ucap ku tiba tiba. Aku sadar apa yang sudah mempengaruhi ku. “Bukan begitu maksudku, Untuk Allah itu benar adanya. Maksudku untuk soal ini adalah berbeda untuk mempercayainnya. “ Kilah ku untuk mencari sebuah pengecualian.
“Meyakinin Tuhan itu walau tak berujud adalah wajib, sementara mempercayaain sesuatu yang gaib selain Tuhan adalah hal mustahil kecuali sesuatu yang ada pedomannya” Claude sedikit menyenggir.
“Mepercayai sesuatu selain keberadaan Tuhan takutnya kita jatuh pada syirik “
“Syirik …?“ Claudei mengulanginya dengan sedikit tereja.
“ Forget it ,. lupakan saja “ mencoba tak memebahas lebih jauh lagi.
“So, Bagaimana kamu tahu tentang ini semua ?. menurutku kalian itu ilmuan, terpelajar. Apa sebenarnya yang kalian ketahui tentang lokasi ini ?” ku dekati cewek itu. Dia tak bergeser sedikitpun . Claudi membiarkan aku merapat dengannya.
“ Its… my Dad. Bapak saya “. Mengulum ,terlihat mengembung sedikit pipi gadis itu. Pandangan wajahnya mengarah kegelapan. Wajahnya sedikit ia relex-kan. Raut imut itu mencoba ungkapkan sesuatu.
“Dua puluh tiga tahun yang lalu Bapak saya datang ke lokasi ini berserta teamnya. Mereka melakukan observasi rencana sumur tambang minyak. Ia biasa di konrak oleh perusahaan dari USA. Tapi kali ini dia di kontrak dari perusahaan Australia yang belum berpenggalaman. Beberapa bulan di hutan ini hingga akhirnya tak ada kabar. Sama sekali. Hingga kami diberitahukan bahwa team tersebut dinyatakan telah hilang.”
“Maksudnya mereka tidak melakukan pengeboran, gitu ?”
“ No, My Dad telah menyakini menemukan Black Hole . titik hitam karena efek dari dalam bumi. Mereka telah melakukan uji geofisikanya. Namun mereka mengatakan menemukan yang lebih penting dari pada sumur minyak itu.”
“Maksudnya yang lebih berharga, Berlian, uranium atau…harta karun ?” tebakku. “Bukan itu, tapi sesuatu yang membuat hidup kita lebih kekal, dan bahagia “
“Keabadian….. maksudmu hidup kekal ?”
“Iya….. sehat dan awet muda”
“Aah…. waktu terus berjalan, seiring usia pasti bertambah. Tapi wajah ,tubuh manusia akan menua. Itu hukum Alamiah. Enggak bisa dipungkirin. Walau kematian itu. Manusia tidak tahu ajalnya. Bisa waktu muda bisa sudah tua. Bisa karena sakit juga bisa manusia meninggal tiba tiba tanpa sebab. Ada yang mati karena perang maka ada juga manusia yang mati karena berpesta. Hanya Tuhan yang mengetahui ajal kematian” panjang lebar kuceramahin itu bule. Tapi raut wajahnya malah cuek.
”Mereka sudah menguji cobanya” ungkap Claude datar.
“Hai kalian kenapa tidak tidur “ suara Dharma mengejutkan kami.
“ Jangan begadang , udara malam tak bagus untuk kesehatan “ nada suaranya sedikit terasa menyindir.
“Iya ,aku juga mulai mengantuk” melangkahkan kakiku kembali ke tempat tidur semula. Kubiarkan saja cewek bule itu dengan omong kosongnya. Namun teratai bercahaya itu tetap jadi pikiranku. Ditambah lagi mimpiku tadi malam. “Harimau putih….?” tanyaku dalam hati. “Atau singga putih ?” binatang mirip harimau tapi tanpa belang berwarna putih bercahaya.
Kreator : Darmen Eka Susilo
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA- Selasa bag2
Sorry, comment are closed for this post.